Naskah Drama
Kau Hadir Kembali
Penulis : Devy
Oktavia
Ramainya
kota Adelaide saat musim panas menarik hati Silvi untuk menginjakkan kakinya di
kota itu. Ditemani sepupunya yang bernama Meli, ia pun bersenang-senang di kota
yang menjadi bagian dari Negara Australia itu. Kebahagiaan selalu ia rasakan
tatkala berjalan menelusuri tempat-tempat di Adelaide yang kebanyakan
dihinggapi para remaja.
Silvi : “Wah seru ya di sini, aku jadi betah.”
Meli : “Iya, benar sekali! Eh, Vi, lihat ke arah sana!” (Meli menunjuk ke sesosok lelaki yang ada di arah jam 12)
Silvi : “Memangnya dia siapa, Mel?”
Meli : “Ha? Kau tidak ingat? Aku panggil dulu. Revan, sini!” (Meli berteriak memanggil Revan)
(Revan
pun menghampiri Silvi dan Meli)
Revan : “Hey Meli, apa kabar?” (Sambil
bersalaman dengan Meli)
Meli : “Baik. Wah kau kelihatannya baik sekali.”
Revan : “Iya nih, Alhamdulillah. Eh ada Silvi juga. Apa kabar Silvi?” (Revan mengulurkan tangannya kepada Silvi
sembari tersenyum manis. Silvi pun membalasnya)
Silvi : “Baik.” (Silvi
tersenyum tipis)
Meli : “Sepertinya Silvi tidak mengingatmu, Van.”
Silvi : (Berbisik pada Meli) “Aku benar-benar tidak tahu siapa dia.”
Meli : “Ah kau ini. Silahkan kalian bernostalgia berdua saja. Aku ke
kedai kopi diseberang jalan itu dulu ya. Daaah!” (Meli pun pergi begitu saja)
Silvi : “Meli jangan tinggalkan aku!” (Meli sudah terlanjur pergi. Keadaan di antara Silvi dan Revan menjadi
canggung)
Silvi : “Maaf, sebenarnya kau ini siapa?”
Revan : “Aku Revan. Masa kau tak ingat? Dulu kau suka memanggillku
Panpan.”
(Silvi
terdiam. Ia berussaha menggali ingatannya yang berhubungan dengan Panpan.)
Pikiran
Silvi terbuka lebar saat mendengar nama Panpan. Sejuta kenangan ia temukan di
dalamnya. Ketika ia tertawa bersama laki-laki yang hitam manis. Ketika ia
merasakan ‘suka’ untuk pertama kalinya.
Revan : “Silvi.. Silvi.”
Silvi : “Oh iya Revan. Ya ampun kau Panpan yagn dulu?” (Silvi jadi tersenyum salah tingkah)
Revan : “Iya aku Panpan. Mustahil jika kau tak ingat.emm.. agar lebih
enak bagaimana kalaukita mengobrol sembari duduk di bangku taman.”
Silvi : “Iya boleh..” (Revan
dan Silvi pun berjalan ke sebuah taman kemudian duduk di sebuah kursi taman
berwarna coklat.)
Revan : “Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu. Hingga kau
melupakanku.”
Silvi : “Hey, maaf aku tidak pernah bermaksud melupakanmu. Hanya saja
kau terlihat sangat berbeda. Aku ingat tentang dirimu, tapi maaf, sungguh aku
tidak ingat rupamu waktu itu. Aku yakin rupamu sangat berbeda dengan yang
dulu.” (Silvi berkata seperti itu sembari
terpesona akan ketampanan Revan yang tak pernah ia duga sebelumnya.)
Revan : “Benarkah aku sangat berbeda? Lebih tampan ya?”
Silvi : “Ah.. kau ini kepedean sekali.”
(Mereka
berdua tertawa kecil)
Revan : “Kau masih suka es krim?”
Silvi : “Tentu saja.”
Revan : “Wah kau tidak berubah ya. Sebentar, aku beli es krim dulu.”
Silvi : “Oke. Jangan lama-lama.”
(Revan
pun pergi membeli es krim yang tak jauh dari tempat duduk mereka)
(Silvi
menunggu Revan sambil memandangi pemandangan di taman itu. Tak lama kemudian
Revan pun datang)
Revan : “Ini buat kamu.” (Revan
memberikan Silvi es krim vanilla dengan cone coklat kemudian duduk di samping
Silvi lagi. Kemudian mereka mengobrol smabil makan es krim)
Silvi : “Ternyata kau masih ingat kesukaanku.”
Revan : “Tentu saja.. Tidak ada hal yang tidak aku ingat tentang
dirimu.”
Silvi : “Apa yang paling kau ingat tentang aku?”
Revan : “Hm.. aku sangat ingat caramu tertawa. Kau saat itu masih
berumur 10 tahun. Kau begitu manis dan cengeng. Aku ingat kita dulu suka saling
mengirimkan surat dan mengungkapkan semua perasaan kita. Lalu kita pacaran deh
hahaa.”
Silvi : (Muka Silvi memerah
karena tersipu malu) “Serius? Kau masih ingat semua itu? Aku benar-benar
tidak mengingatnya sama sekali.....”
Revan : “Tentu saja. Saat itu kita sangat bahagia bersama. Kita bermain
bersama. Hingga kau pergi meninggalkanku ke Indonesia tanpa ada kata
perpisahan. Itu artinya kita belum putus kan, Vi?”
Silvi : “Hahaha... kau ini. Pacaran denganmu saja aku tidak ingat
sama sekali. Dibilang belum putus lagi..”
Revan : “Memang kenyataannya seperti itu.sekarang umurmu sudah berapa
tahun?”
Silvi : “19 tahun.”
Revan : “Berarti kau telah meninggalkanku selama 9 tahun. Bagaimana
kalau kita mulai lagi untuk mengisi kekosongan yang telah hilang 9 tahun itu?”
Silvi : “Eh... maksudmu?”
Revan : “Ya bagaimana kalau kita lanjutkan hubungan kita lagi. Tidak ada
salahnya bukan?”
Silvi : “Hmmm..” (Silvi hanya
bergumam saja. Ia tidak tahu apa yang semestinya ia katakan. Ia terlalu senang)
(Tiba-tiba
segerombolan pemuda asli warga setempat menghampiri mereka.)
Cody : “Hay, bro! Ngapain kamu di sini? Mending ke lapangan sana.
Menonton teman kita yang main skateboard sambil cari cewek!”
Austin : “Iya bro. Di sana banyak cewek-cewek cantik loh. Bukannya kamu
mau cari cewek?”
Revan : “Duh maaf bro. Tapi sekarang aku sudah punya cewek. Nih bidadari
di samping aku.” (Sambil melirik ke arah
Silvi. Silvi tersipu malu.)
Cody : “Wah cantik dan imut gini. Pasti produk luar. Dapet dari mana?”
Austin : “Kamu cari cewek gak ngajak-ngajak kita.”
Revan : “Bukannya gitu bro. Dia ini sebenernya pacar gue dari dulu. Cuma
baru ke sini aja.”
Austin : “Cantik banget. Kamu bisa saja memilihnya.”
Revan : “Ah sudah sana kalian lihat skateboard saja. Jangan menganggu
kami.”
Cody : “Hmm yang sedang kasmaran memang sulit di ajak bicara sedikit
saja. Sudah deh. Kita pergi.”
(Cody
merangkul bahu Austin. Kemudian mereka pergi menjauh dari Silvi dan Revan.)
Revan : “Mereka mengganggu saja.”
Silvi : “Ya biarkan saja padahal. Biar rame di sini.”
Revan : “Nanti kita tidak bisa berduaan dong.” (Revan memandangi Silvi sambil tersenym manis.)
Mereka berdua terus melanjutkan
percakapannya. Mengisi kembali 9 tahun yang telah terbuang. Rasa rindu begitu
menumpuk di antara mereka. Mereka saling mengenalkan diri dari awal lagi.
Kebahagiaan bersemi di hati mereka. Hingga langit matahari ingin beristirahat,
mereka pun pulang.
Meli : “Cie.. yang habis berkencan.”
Silvi : (tersenyum-senyum)
Meli : “Wah bahaya nih Silvi sedang kasmaran. Kalian berdua cocok
sekali tahu! Eh aku tidak menyangka bisa ketemu Revan di sini. Dia beda sekali
ya, Vi. Menurutku dia jauh lebih tampan sekarang.”
Silvi : “Iya memang. Ah pokoknya aku senang sekali dapat bertemu
dengannya. Bayangkan, 9 tahun tidak bertemu. 9 tahun aku tidak pernah
mengingatnya sama sekali. Dia sekarang muncul dengan cara yang indah. Aku
seperti menemukan kepingan yang hilang dalam hatiku selama ini.”
Meli : “Ya.. semoga dia memang benar-benar kepingan itu. Ohya, kau
sudah tukeran nomer HP dengannya? Atau kau sudah tahu alamatnya sekarang?”
Silvi : (Silvi terlonjak kaget)
“Ya ampun aku tidak ingat sama sekali akan hal itu. Wah bagaimana ini?
Kalau tidak ada nomer HP bagaimana bisa janjian untuk bertemu lagi?”
Meli : “Ah kau ini selalu saja ceroboh. Nomer HP itu sangat penting.
Masa sampai lupa.”
Silvi : “Kau tahu kan aku orangnya pelupa. Lagipula aku
sungguh-sungguh tidak berpikiran akan hal itu. Revan juga tidak menanyakan
nomer HP ku.”
Meli : “Kalau sudah begini repot jadinya.”
Silvi : “Mungkin aku memang hanya ditakdirkan bertemu dengannya
sekali ini. Besok tidak mungkin bertemu lagi.” (Wajah Silvi menjadi muram)
Meli : “Kalau jodoh, pasti Tuhan punya cara yang indah untuk
mempertemukan kalian lagi.”
Silvi : “Iya semoga saja. Hmm besok hari terakhir kita di sini ya.”
Meli : “Benar. Kita harus bersenang-senang di sini semaksimal
mungkin. Sekarang kita istirahat saja.”
Silvi : “Oke!”
Silvi dan Meli pun tertidur dibalik
selimut unntuk berlindung dari udara dingin Kota Adelaide. Keesokan harinya
mereka berdua bangun pagi sekali. Mereka menyewa sepeda untuk berjalan-jalan
keliling suatu daerah di kota itu. Mereka pun berburu oleh-oleh. Saat mereka
memilih suatu barang, Meli tak sengaja melihat seseorang.
Meli : “Silvi, bukankah itu Revan?” (Meli menunjuk ke sesosok lelaki yang ada di dalam mobil berwarna
hitam)
Silvi : “Iya benar.” (Ternyata
lelaki di dalam mobil itu menyadari kehadiran Silvi. Lelaki itu memang Revan.
Revan pun melempar senyuman pada Silvi. Kemudian mobil yang dikendarai Revan
pergi menjauh.)
Silvi : “Mel, itu memang Revan. Ayo kita kejar. Barangkali tidak
bertemu lagi. Aku ingin meminta nomer HP nya.”
(Tanpa
dapat berkata satu patah kata pun, tangan Meli di tarik oleh Silvi kemudian
naik sepeda. Silvi mengayuh pedal sepeda dengan cepat agar dapat menyusul mobil
hitam itu. Meli yang dibonceng merasa panik karena sepedanya sangat kencang)
Meli : “Silvi pelan-pelan!”
Silvi : “Diam kau. Aku berusaha mengejar Revan. Aku tidak ingin
kehilangan dia lagi. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Meli : “Sebelumnya kau tidak pernah mau berjuang seperti ini hanya
untuk mendapatkan nomor HP seorang cowok. Tapi jika kau rasa dia pantas, aku
akan selalu mendukungmu. Kau mengayuh sepeda ini seperti pembalap saja. Ayo
semangat Silviiii!”
(Silvi
semakin semangat mengayuh pedal sepeda. Tak lama kemudian mobil hitam itu
berhenti. Silvi segera menghampiri pengendara mobil itu. Tapi ketika sudah
dekat, Silvi malah gerogi.)
Silvi : “Mel, aku malu kalau harus meminta nomernya. Kau sajalah yang
minta.”
Meli : “Eh kau ini sudah capek-capek, akhirnya aku juga yang
disuruh.”
Silvi : “Aku mohon...” (Meli
pun menuruti apa kata Silvi)
Meli : “Van, minta nomer HP kamu.”
Revan : “Eh kamu Mel. Ini.” (Revan
memberikan kartu namanya.)
Meli : “Terima kasih.”
Revan : “Sudah dulu ya. Aku sedang terburu-buru.”
(Revan
oun pergi begitu saja tanpa menyapa Silvi. Silvi kecewa. Tapi setidaknya dia
sudah mendapatkan nomer HP Revan.)
Setelah dirasa cukup, mereka berdua kembali ke
hotel. Menyiapkan semua barang-barang yang akan dibawa ke Indonesia. Silvi
merasa sedih karena tahu tidak akan
bertemu dengan Revan lagi. Silvi terus memikirkan Revan. Setidaknya, ia telah
dibuat bahagia walau hanya satu hari. Jam 4 pagi Silvi dan Meli menuju bandara.
Meli : “Mengapa kau tidak menghubungi Revan?”
Silvi : “Aku takut dia sibuk.”
Meli : “Mumpung masih di sini, Vi. Apakah kau akan mengulangi
kesalahanmu 9 tahun yang lalu? Meninggalkan Revan begitu saja tanpa ada satu
patah kata perpisahan? Pikirkan lagi, Vi. Aku yakin kau tak ingin berpisah
darinya lagi.”
(Silvi
pun terdiam. Ia menundukan kepala kemudian air mata mengalir perlahan di pipi
lembutnya)
Meli : “Kalau kau tak mau menghubunginya. Aku saja yang akan menelpon
Revan dan menyuruhnya ke sini.” (Meli pun
mengeluarkan HP dari tas tangannya kemudian mengetikan nomer yang tertera dalam
sebuah kartu nama)
(15
menit kemudian sesosok pria yang dinanti Silvi datang.)
Revan : “Silvi!”
(Silvi
pun terlonjak)
Meli : “Masih ada waktu 30 menit sebelum keberangkatan. Aku tunggu di
ujung sana ya, Vi.”
(Meli
pun meninggalkan Silvi dan Revan berdua.)
Revan : “Mengapa kau tidak bilang akan pulang hari ini?”
Silvi : “Kau tidak bertanya.”
Revan : “Vi... Tolong. Jangan meninggalkan aku begitu saja. Kau tahu?
Rasanya tidak enak. Sakit, Vi. Rasa rindu selama 9 tahun sangat menyiksaku.”
Silvi : “Lagipula siapayang menyuruhmu merindukanku?”
Revan : “Tidak ada. Ini murni kemauan hatiku sendiri. Tak dapat
diingkari. Dengar Vi, aku masih mencintaimu seperti dulu, aku tak ingin
kehilanganmu lagi. Aku ingin bersamamu lagi. Aku tak peduli jarak memisahkan
kita. Lagipula kita dapat bertemu saat liburan kan?”
Silvi : “Kau ini bicara apa? Jelas-jelas kita dipisahkan oleh jarak.
Tidak mungkin kita menjalin sebuah hubungan. Bisa saja ada salah satu dari kita
yang berkhianat.”
Revan : “Asal saling percaya, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”
Silvi : “Mengapa kau ingin bersamaku? Padahal banyak sekali
gadis-gadis cantik di sini yang setiap hari dapat kau temui.”
Revan : “Aku tidak peduli. Hatiku hanya membutuhkanmu. Aku janji akan
selalu menghubungimu.”
Silvi : “Hm.. baiklah. Kita jalani saja dahulu. 5 menit lagi
penerbanganku.”
(Revan
kemudian memeluk Silvi dengan erat)
Revan : “Baik-baik di sana. Aku
pasti akan merindukanmu. Percayalah padaku. Aku sangat menyayangimu.”
Silvi : “Aku juga menyayangimu. (Silvi
melepaskan pelukan Revan). Terimakasih, Van. Maaf, aku harus pergi lagi.”
Revans : “Tak apa. meski kau jauh, kita tetap menghirup udara yang sama
bukan?”
(Silvi tersenyum bahagia. Silvi
menarik kopernya dan meninggalkan Revan)
Silvi
tak pernah menyangka dapat bertemu Revan di sini. Sebenarnya Silvi takut
menjalin hubungan jarak jauh, tetapi cinta dalam hatinya membuat jarak tak
menjadi masalah. Silvi dan Revan selalu berkomunikasi lewat telepon atau pun
email. Semuanya berjalan lancar meski rasa rindu semakin hari semakin menumpuk
dalam hati keduanya.
0 comment:
Posting Komentar