Juni 21, 2014

Naskah Drama "Kau Hadir Kembali"

Naskah Drama
Kau Hadir Kembali
Penulis            : Devy Oktavia

        Ramainya kota Adelaide saat musim panas menarik hati Silvi untuk menginjakkan kakinya di kota itu. Ditemani sepupunya yang bernama Meli, ia pun bersenang-senang di kota yang menjadi bagian dari Negara Australia itu. Kebahagiaan selalu ia rasakan tatkala berjalan menelusuri tempat-tempat di Adelaide yang kebanyakan dihinggapi para remaja.
Silvi      : “Wah seru ya di sini, aku jadi betah.”
Meli     : “Iya, benar sekali! Eh, Vi, lihat ke arah sana!” (Meli menunjuk ke sesosok   lelaki yang ada di arah jam 12)
Silvi      : “Memangnya dia siapa, Mel?”
Meli     : “Ha? Kau tidak ingat? Aku panggil dulu. Revan, sini!” (Meli berteriak memanggil Revan)
(Revan pun menghampiri Silvi dan Meli)
Revan   : “Hey Meli, apa kabar?” (Sambil bersalaman dengan Meli)
Meli     : “Baik. Wah kau kelihatannya baik sekali.”
Revan   : “Iya nih, Alhamdulillah. Eh ada Silvi juga. Apa kabar Silvi?” (Revan mengulurkan tangannya kepada Silvi sembari tersenyum manis. Silvi pun membalasnya)
Silvi      : “Baik.” (Silvi tersenyum tipis)
Meli     : “Sepertinya Silvi tidak mengingatmu, Van.”
Silvi      : (Berbisik pada Meli)  “Aku benar-benar tidak tahu siapa dia.”
Meli     : “Ah kau ini. Silahkan kalian bernostalgia berdua saja. Aku ke kedai kopi diseberang jalan itu dulu ya. Daaah!” (Meli pun pergi begitu saja)
Silvi      : “Meli jangan tinggalkan aku!” (Meli sudah terlanjur pergi. Keadaan di antara Silvi dan Revan menjadi canggung)
Silvi      : “Maaf, sebenarnya kau ini siapa?”
Revan   : “Aku Revan. Masa kau tak ingat? Dulu kau suka memanggillku Panpan.”
(Silvi terdiam. Ia berussaha menggali ingatannya yang berhubungan dengan Panpan.)


        Pikiran Silvi terbuka lebar saat mendengar nama Panpan. Sejuta kenangan ia temukan di dalamnya. Ketika ia tertawa bersama laki-laki yang hitam manis. Ketika ia merasakan ‘suka’ untuk pertama kalinya.
Revan   : “Silvi.. Silvi.”
Silvi      : “Oh iya Revan. Ya ampun kau Panpan yagn dulu?” (Silvi jadi tersenyum salah tingkah)
Revan   : “Iya aku Panpan. Mustahil jika kau tak ingat.emm.. agar lebih enak bagaimana kalaukita mengobrol sembari duduk di bangku taman.”
Silvi      : “Iya boleh..” (Revan dan Silvi pun berjalan ke sebuah taman kemudian duduk di sebuah kursi taman berwarna coklat.)
Revan   : “Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu. Hingga kau melupakanku.”
Silvi      : “Hey, maaf aku tidak pernah bermaksud melupakanmu. Hanya saja kau terlihat sangat berbeda. Aku ingat tentang dirimu, tapi maaf, sungguh aku tidak ingat rupamu waktu itu. Aku yakin rupamu sangat berbeda dengan yang dulu.” (Silvi berkata seperti itu sembari terpesona akan ketampanan Revan yang tak pernah ia duga sebelumnya.)
Revan   : “Benarkah aku sangat berbeda? Lebih tampan ya?”
Silvi      : “Ah.. kau ini kepedean sekali.”
(Mereka berdua tertawa kecil)
Revan   : “Kau masih suka es krim?”
Silvi      : “Tentu saja.”
Revan   : “Wah kau tidak berubah ya. Sebentar, aku beli es krim dulu.”
Silvi      : “Oke. Jangan lama-lama.”
(Revan pun pergi membeli es krim yang tak jauh dari tempat duduk mereka)
(Silvi menunggu Revan sambil memandangi pemandangan di taman itu. Tak lama kemudian Revan pun datang)
Revan   : “Ini buat kamu.” (Revan memberikan Silvi es krim vanilla dengan cone coklat kemudian duduk di samping Silvi lagi. Kemudian mereka mengobrol smabil makan es krim)
Silvi      : “Ternyata kau masih ingat kesukaanku.”
Revan   : “Tentu saja.. Tidak ada hal yang tidak aku ingat tentang dirimu.”
Silvi      : “Apa yang paling kau ingat tentang aku?”
Revan   : “Hm.. aku sangat ingat caramu tertawa. Kau saat itu masih berumur 10 tahun. Kau begitu manis dan cengeng. Aku ingat kita dulu suka saling mengirimkan surat dan mengungkapkan semua perasaan kita. Lalu kita pacaran deh hahaa.”
Silvi      : (Muka Silvi memerah karena tersipu malu) “Serius? Kau masih ingat semua itu? Aku benar-benar tidak mengingatnya sama sekali.....”
Revan   : “Tentu saja. Saat itu kita sangat bahagia bersama. Kita bermain bersama. Hingga kau pergi meninggalkanku ke Indonesia tanpa ada kata perpisahan. Itu artinya kita belum putus kan, Vi?”
Silvi      : “Hahaha... kau ini. Pacaran denganmu saja aku tidak ingat sama sekali. Dibilang belum putus lagi..”
Revan   : “Memang kenyataannya seperti itu.sekarang umurmu sudah berapa tahun?”
Silvi      : “19 tahun.”
Revan   : “Berarti kau telah meninggalkanku selama 9 tahun. Bagaimana kalau kita mulai lagi untuk mengisi kekosongan yang telah hilang 9 tahun itu?”
Silvi      : “Eh... maksudmu?”
Revan   : “Ya bagaimana kalau kita lanjutkan hubungan kita lagi. Tidak ada salahnya bukan?”
Silvi      : “Hmmm..” (Silvi hanya bergumam saja. Ia tidak tahu apa yang semestinya ia katakan. Ia terlalu senang)
(Tiba-tiba segerombolan pemuda asli warga setempat menghampiri mereka.)
Cody    : “Hay, bro! Ngapain kamu di sini? Mending ke lapangan sana. Menonton teman kita yang main skateboard sambil cari cewek!”
Austin   : “Iya bro. Di sana banyak cewek-cewek cantik loh. Bukannya kamu mau cari cewek?”
Revan   : “Duh maaf bro. Tapi sekarang aku sudah punya cewek. Nih bidadari di samping aku.” (Sambil melirik ke arah Silvi. Silvi tersipu malu.)
Cody    : “Wah cantik dan imut gini. Pasti produk luar. Dapet dari mana?”
Austin   : “Kamu cari cewek gak ngajak-ngajak kita.”
Revan   : “Bukannya gitu bro. Dia ini sebenernya pacar gue dari dulu. Cuma baru ke sini aja.”
Austin   : “Cantik banget. Kamu bisa saja memilihnya.”
Revan   : “Ah sudah sana kalian lihat skateboard saja. Jangan menganggu kami.”
Cody    : “Hmm yang sedang kasmaran memang sulit di ajak bicara sedikit saja. Sudah deh. Kita pergi.”
(Cody merangkul bahu Austin. Kemudian mereka pergi menjauh dari Silvi dan Revan.)
Revan   : “Mereka mengganggu saja.”
Silvi      : “Ya biarkan saja padahal. Biar rame di sini.”
Revan   : “Nanti kita tidak bisa berduaan dong.” (Revan memandangi Silvi sambil tersenym manis.)
           Mereka berdua terus melanjutkan percakapannya. Mengisi kembali 9 tahun yang telah terbuang. Rasa rindu begitu menumpuk di antara mereka. Mereka saling mengenalkan diri dari awal lagi. Kebahagiaan bersemi di hati mereka. Hingga langit matahari ingin beristirahat, mereka pun pulang.
Meli     : “Cie.. yang habis berkencan.”
Silvi      : (tersenyum-senyum)
Meli     : “Wah bahaya nih Silvi sedang kasmaran. Kalian berdua cocok sekali tahu! Eh aku tidak menyangka bisa ketemu Revan di sini. Dia beda sekali ya, Vi. Menurutku dia jauh lebih tampan sekarang.”
Silvi      : “Iya memang. Ah pokoknya aku senang sekali dapat bertemu dengannya. Bayangkan, 9 tahun tidak bertemu. 9 tahun aku tidak pernah mengingatnya sama sekali. Dia sekarang muncul dengan cara yang indah. Aku seperti menemukan kepingan yang hilang dalam hatiku selama ini.”
Meli     : “Ya.. semoga dia memang benar-benar kepingan itu. Ohya, kau sudah tukeran nomer HP dengannya? Atau kau sudah tahu alamatnya sekarang?”
Silvi      : (Silvi terlonjak kaget) “Ya ampun aku tidak ingat sama sekali akan hal itu. Wah bagaimana ini? Kalau tidak ada nomer HP bagaimana bisa janjian untuk bertemu lagi?”
Meli     : “Ah kau ini selalu saja ceroboh. Nomer HP itu sangat penting. Masa sampai lupa.”
Silvi      : “Kau tahu kan aku orangnya pelupa. Lagipula aku sungguh-sungguh tidak berpikiran akan hal itu. Revan juga tidak menanyakan nomer HP ku.”
Meli     : “Kalau sudah begini repot jadinya.”
Silvi      : “Mungkin aku memang hanya ditakdirkan bertemu dengannya sekali ini. Besok tidak mungkin bertemu lagi.” (Wajah Silvi menjadi muram)
Meli     : “Kalau jodoh, pasti Tuhan punya cara yang indah untuk mempertemukan kalian lagi.”
Silvi      : “Iya semoga saja. Hmm besok hari terakhir kita di sini ya.”
Meli     : “Benar. Kita harus bersenang-senang di sini semaksimal mungkin. Sekarang kita istirahat saja.”
Silvi      : “Oke!”
          Silvi dan Meli pun tertidur dibalik selimut unntuk berlindung dari udara dingin Kota Adelaide. Keesokan harinya mereka berdua bangun pagi sekali. Mereka menyewa sepeda untuk berjalan-jalan keliling suatu daerah di kota itu. Mereka pun berburu oleh-oleh. Saat mereka memilih suatu barang, Meli tak sengaja melihat seseorang.
Meli     : “Silvi, bukankah itu Revan?” (Meli menunjuk ke sesosok lelaki yang ada di dalam mobil berwarna hitam)
Silvi      : “Iya benar.” (Ternyata lelaki di dalam mobil itu menyadari kehadiran Silvi. Lelaki itu memang Revan. Revan pun melempar senyuman pada Silvi. Kemudian mobil yang dikendarai Revan pergi menjauh.)
Silvi      : “Mel, itu memang Revan. Ayo kita kejar. Barangkali tidak bertemu lagi. Aku ingin meminta nomer HP nya.”
(Tanpa dapat berkata satu patah kata pun, tangan Meli di tarik oleh Silvi kemudian naik sepeda. Silvi mengayuh pedal sepeda dengan cepat agar dapat menyusul mobil hitam itu. Meli yang dibonceng merasa panik karena sepedanya sangat kencang)
Meli     : “Silvi pelan-pelan!”
Silvi      : “Diam kau. Aku berusaha mengejar Revan. Aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Meli     : “Sebelumnya kau tidak pernah mau berjuang seperti ini hanya untuk mendapatkan nomor HP seorang cowok. Tapi jika kau rasa dia pantas, aku akan selalu mendukungmu. Kau mengayuh sepeda ini seperti pembalap saja. Ayo semangat Silviiii!”
(Silvi semakin semangat mengayuh pedal sepeda. Tak lama kemudian mobil hitam itu berhenti. Silvi segera menghampiri pengendara mobil itu. Tapi ketika sudah dekat, Silvi malah gerogi.)
Silvi      : “Mel, aku malu kalau harus meminta nomernya. Kau sajalah yang minta.”
Meli     : “Eh kau ini sudah capek-capek, akhirnya aku juga yang disuruh.”
Silvi      : “Aku mohon...” (Meli pun menuruti apa kata Silvi)
Meli     : “Van, minta nomer HP kamu.”
Revan   : “Eh kamu Mel. Ini.” (Revan memberikan kartu namanya.)
Meli     : “Terima kasih.”
Revan   : “Sudah dulu ya. Aku sedang terburu-buru.”
(Revan oun pergi begitu saja tanpa menyapa Silvi. Silvi kecewa. Tapi setidaknya dia sudah mendapatkan nomer HP Revan.)
           Setelah dirasa cukup, mereka berdua kembali ke hotel. Menyiapkan semua barang-barang yang akan dibawa ke Indonesia. Silvi merasa sedih karena tahu  tidak akan bertemu dengan Revan lagi. Silvi terus memikirkan Revan. Setidaknya, ia telah dibuat bahagia walau hanya satu hari. Jam 4 pagi Silvi dan Meli menuju bandara.
Meli     : “Mengapa kau tidak menghubungi Revan?”
Silvi      : “Aku takut dia sibuk.”
Meli     : “Mumpung masih di sini, Vi. Apakah kau akan mengulangi kesalahanmu 9 tahun yang lalu? Meninggalkan Revan begitu saja tanpa ada satu patah kata perpisahan? Pikirkan lagi, Vi. Aku yakin kau tak ingin berpisah darinya lagi.”
(Silvi pun terdiam. Ia menundukan kepala kemudian air mata mengalir perlahan di pipi lembutnya)
Meli     : “Kalau kau tak mau menghubunginya. Aku saja yang akan menelpon Revan dan menyuruhnya ke sini.” (Meli pun mengeluarkan HP dari tas tangannya kemudian mengetikan nomer yang tertera dalam sebuah kartu nama)
(15 menit kemudian sesosok pria yang dinanti Silvi datang.)
Revan   : “Silvi!”
(Silvi pun terlonjak)
Meli     : “Masih ada waktu 30 menit sebelum keberangkatan. Aku tunggu di ujung sana ya, Vi.”
(Meli pun meninggalkan Silvi dan Revan berdua.)
Revan   : “Mengapa kau tidak bilang akan pulang hari ini?”
Silvi      : “Kau tidak bertanya.”
Revan   : “Vi... Tolong. Jangan meninggalkan aku begitu saja. Kau tahu? Rasanya tidak enak. Sakit, Vi. Rasa rindu selama 9 tahun sangat menyiksaku.”
Silvi      : “Lagipula siapayang menyuruhmu merindukanku?”
Revan   : “Tidak ada. Ini murni kemauan hatiku sendiri. Tak dapat diingkari. Dengar Vi, aku masih mencintaimu seperti dulu, aku tak ingin kehilanganmu lagi. Aku ingin bersamamu lagi. Aku tak peduli jarak memisahkan kita. Lagipula kita dapat bertemu saat liburan kan?”
Silvi      : “Kau ini bicara apa? Jelas-jelas kita dipisahkan oleh jarak. Tidak mungkin kita menjalin sebuah hubungan. Bisa saja ada salah satu dari kita yang berkhianat.”
Revan   : “Asal saling percaya, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”
Silvi      : “Mengapa kau ingin bersamaku? Padahal banyak sekali gadis-gadis cantik di sini yang setiap hari dapat kau temui.”
Revan   : “Aku tidak peduli. Hatiku hanya membutuhkanmu. Aku janji akan selalu menghubungimu.”
Silvi      : “Hm.. baiklah. Kita jalani saja dahulu. 5 menit lagi penerbanganku.”
(Revan kemudian memeluk Silvi dengan erat)
Revan   : “Baik-baik di sana. Aku  pasti akan merindukanmu. Percayalah padaku. Aku sangat menyayangimu.”
Silvi      : “Aku juga menyayangimu. (Silvi melepaskan pelukan Revan). Terimakasih, Van. Maaf, aku harus pergi lagi.”
Revans : “Tak apa. meski kau jauh, kita tetap menghirup udara yang sama bukan?”
(Silvi tersenyum bahagia. Silvi menarik kopernya dan meninggalkan Revan)
          Silvi tak pernah menyangka dapat bertemu Revan di sini. Sebenarnya Silvi takut menjalin hubungan jarak jauh, tetapi cinta dalam hatinya membuat jarak tak menjadi masalah. Silvi dan Revan selalu berkomunikasi lewat telepon atau pun email. Semuanya berjalan lancar meski rasa rindu semakin hari semakin menumpuk dalam hati keduanya.


0 comment:

Posting Komentar