Februari 23, 2015

Cerita Pendek "Menyapa Hadirmu"


Kacau

 sekali hidupku saat ini. Dan, menyendiri. Itulah yang kuinginkan. Aku muak hadir dalam kerumunan orang-orang yang tak sejalan denganku. Telingaku lelah mendengarkan celotehan tak penting dari mulut-mulut mereka. Aku lebih suka menyematkan earphone pada kedua telingaku, memutar lagu kesukaanku dengan suara semaksimal mungkin.
          Ada sebuah tangan yang menepuk-nepuk pundakku. Tak kuhiraukan. Tangan itu terus menepuk pundakku. Namun ku tetap menikmati laguku. Hingga akhirnya tangan itu memberanikan untuk mencabut earphone dari telingaku. Aku terperanjat. Kesal.
          “Ganggu sekali kamu ini!” Teriakku pada seorang gadis di hadapanku, si pemilik tangan tadi.
          “Tak usah teriak begitu! Dari tadi asyik sendiri saja. Tak menghiraukan KM yang dari tadi bicara di depan.” Balas gadis itu, sinis.
          “Aku tak peduli apapun yang dia bicarakan.” Kataku sambil memasang kembali earphone di telingaku. Dengan cepat gadis itu melepaskan benda yang tersemat di telingaku itu secara paksa.
          “Dimas! Tolong sekali ini saja dengarkan dulu! Ini penting. Kau tahu kan Dewi sudah seminggu lebih tak masuk sekolah? Ternyata dia dirawat di rumah sakit. Rencananya kita sekelas mau menjenguk dia pulang sekolah nanti. Kamu mau ikut tidak?”
          “Tidak!” Jawabku ketus. Aku langsung ke luar kelas kemudian duduk di bangku depan kelas.
          Dewi... memang dia telah tidak sekolah selama satu minggu ini. Teman-teman sekelas tak ada yang tahu ke mana ia. Sepertinya mereka baru mengetahuinya hari ini. Namun aku sudah mengetahuinya dari awal. Tentu saja aku tahu.
          Karena...

          Akulah penyebabnya.
         

          “Aku bosan denganmu. Aku bosan melihat wajahmu setiap hari. Kita sudahi saja hubungan kita.” Kataku sambil memalingkan wajah dari hadapan Dewi.
          “Bosan katamu? Dimas, kita ini baru saja berpacaran kurang dari tiga bulan. Aku selalu menuruti kemauanmu, termasuk tidak memberitahu pada siapa-siapa tentang hubungan kita ini.” Jawab Dewi.
          “Pokoknya aku bosan. Aku ingin sendiri.” Tanpa melihat ke arahnya lagi, aku jalan menjauh darinya. Dewi mengejar dan menarik tanganku.
          “Dimas, aku mohon jangan perlakukan aku seperti ini. Kamu tahu kan aku sangat sayang kamu. Aku akan menuruti semua kata-kata kamu. Tapi tolong jangan tinggalkan aku.” Air mata mulai mengalir pada pipi lembut Dewi. Aku tak tahan melihatnya menangis. Aku langsung bergegas pergi.


          Itulah percakapan terakhirku dengan Dewi. Tak berapa lama setelah aku meninggalkan Dewi, aku mendapat telepon dari ibunya bahwa Dewi kecelakaan. Entah bagaimana, Dewi hingga sekarang belum sadarkan diri.
          Hatiku remuk.
          Penyesalan ini... setiap malam aku selalu menyalahkan diriku atas kejadian yang menimpa Dewi. Aku sudah minta maaf pada kedua orang tua Dewi. Namun mereka terlalu baik, mereka bilang ini bukan salahku. Ini adalah takdir Tuhan. Tapi tetap saja rasa sesal membanjiri hatiku.
          Orang tua Dewi memintaku agar tidak memberitahukan keadaan Dewi kepada teman-teman yang lain. Mereka tidak ingin membuat orang lain khawatir akan keadaan anaknya. Mereka juga tak suka dikasihani. Tapi aku tak mengerti hari ini mengapa teman yang lain tahu bahwa Dewi dirawat di rumah sakit.
          Tiga hari pertama Dewi masuk rumah sakit, aku selalu setia menungguinya. Berharap ia membuka kelopak matanya sehingga terlihat lagi bola mata indahnya. Mata yang sama saat ia mengeluarkan air matanya, karena aku...
          Tapi aku lelah karena ia tak kunjung membuka matanya. Aku lelah menatap raga yang jiwanya entah di mana. Aku kesal. Aku marah pada diriku sendiri atas perlakuanku pada Dewi saat itu.
          Seandainya aku tak bosan.
          Seandainya aku lebih memikirkan perasaan Dewi.
          Seandainya waktu terluang kembali.
          Itulah pengandaian-pengandaian yang membebani pikiranku selama seminggu ini. Selama jiwa Dewi sedang berkeliaran.
          Yang paling aku takuti adalah kehilangan jiwa yang tulus menyayangiku, bahkan mencintaiku.
          Ya, aku tahu dia mencintaiku dengan sungguh-sungguh. Semua itu terbukti dari sikapnya padaku. Dia selalu ada untukku. Dia tak pernah cerewet untuk meminta apa pun padaku seperti perempuan-perempuan labil lainnya. Dewi bukan perempuan muda yang labil. Dia berpikiran dewasa untuk ukuran perempuan berumur 17 tahun seperti dirinya. Dalam hubungan kami, aku yang lebih suka marah dan dia yang menenangkanku. Dia tak pernah memarahiku, dia selalu sabar menghadapi diriku ini. Kebaikannya itulah yang membuat aku bosan. Namun, kini aku baru menyadari bahwa hal itu amat langka. Hal yang seharusnya aku jaga dan berikan balasan yang layak.
          Sayang sekali aku baru menyadari itu setelah Dewi tak ada di sampingku. Aku amat merindukannya. Merindukan parasnya yang cantik, terlebih aku merindukan satu lesung pipit yang hanya ia punya di pipi sebelah kirinya. Tidak, aku tidak hanya merindukan itu. Aku merindukan segala hal tentang Dewi.
          Hal yang membebani pikiranku adalah Dewi yang tak akan bangun lagi.      Aku stres memikirkan itu, hidupku terasa hampa. Memikirkan jiwa Dewi yang entah di mana, jiwaku ikut hilang. Seakan jiwaku ikut mencari jiwa Dewi. Hidupku jadi tak bergairah lagi.


          “Dimas, kamu yakin tak akan ikut menjenguk Dewi?” Kali ini KM yang menanyaiku.
          Aku hanya menggelengkan kepalaku. KM itu pergi bersama teman-teman kelas yang lain untuk menjenguk Dewi.
          “Eh, Dim. Sini ikut aku. Ada yang mau aku omongin sama kamu.” Seorang gadis bertubuh mungil menarik tanganku. Ia adalah Wina, sahabat Dewi.
          “Ada apa, Win? Kalau tak penting aku tak mau mendengarkanmu.”
          “Ini penting, maka dari itu aku mengajakmu berbicara.”
          “Baiklah, silahkan.”
          “Kamu kenapa, sih? Aku perhatikan, sejak Dewi tidak masuk sekolah, kamu jadi suka murung. Suka menyendiri. Biasanya kamu suka banyak ngomong di kelas dan bercanda ria dengan yang lain. Tapi sekarang? Apa ada hubungannya dengan Dewi?”
          “Bukan urusan kamu, Win.”
          “Jelas ada urusannya kalau ini berhubungan dengan Dewi!”
          “Baiklah...” Aku ceritakan pada Wina mengenai aku dan Dewi. Semuanya. Serinci-rincinya.
          “Dasar kau lelaki berotak udang! Seperti anak kecil saja bilang bosan dalam berpacaran! Lihat akibat perkataan kamu itu Dewi jadi koma selama satu minggu. Kurang ajar sekali kau! Itu semua salahmu!” Wina teriak dengan suara yang dapat memecahkah gendang telingaku.
          “Iya, aku tahu. Tak perlu mengingatkan diriku bahwa itu semua salahku. Aku sudah tahu itu. Aku selalu ingat itu!” Aku tidak dapat menahan emosi lagi. Semua perasaan bersalah dalam hatiku membuatku tak dapat lagi menahannya. Tanpa aku sadari aku berbicara dengan nada terlalu tinggi pada perempuan itu.
          “Oh, aku kira kamu nggak sadar sama kesalahan kamu sendiri. Biasanya kan cowok suka kayak gitu. Sekarang kamu puas, karena perbuatan kamu, Dewi jadi seperti ini? Kamu benci ya sama Dewi? Sampai kamu pengen dia celaka.” Wina berucap dengan sinis.
          “Wina! Ngomong apaan sih kamu? Aku nggak pernah benci sama Dewi. Lalu siapa juga yang mau dia celaka. Aku tidak pernah tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. aku sebenarnya masih sayang padanya, aku ingin dia kembali seperti dulu.”
          “Halah, dasar cowok! Waktu Dewi masih ada, kamu sia-siakan kehadirannya. Sekarang baru ngerasa kehilangan. Semua cowok sama aja ya!”
          Wina langung meninggalkan ku setelah ucapan itu. Semua orang tidak mengerti perasaan hatiku. Semua orang tidak tahu betapa menyesalnya diriku. Mereka hanya dapat menyalahkan dan menyalahkan.
          Pikiranku semakin kacau. Aku tak tahu harus bagaimana lagi kecuali mendoakan Dewi supaya cepat sadar.


          Pulang sekolah, tanpa berpikir pulang ke rumah untuk ganti baju, aku mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Melewati batas kota yang aku tinggali selama ini. Pergi sejauh mungkin untuk menghindari rasa bersalahku. Aku memang pengecut. Hanya bisa pergi, tak sanggup untuk menghadapinya.
          Aku tak sanggup bila menghadapi kenyataan bahwa Dewi tak akan sadar. Bahwa Dewi akan meninggalkan aku tanpa memberikan kesempatan padaku untuk meminta maaf dan membuat segalanya menjadi lebih baik.
          Aku sampai di sebuah tempat yang sangat sepi, tak tahu di mana. Yang pasti, ini tempat yang cocok untuk berdiskusi dengan diriku sendiri. Apa yang harus aku lakukan?
          Aku selalu memikirkan bagaimana keadaan raga Dewi yang sedang tak sadarkan diri itu? Apakah jiwanya masih di dalam raga Dewi atau sedang asyik berkelana? Jika ia, aku harap jiwanya mengetahui kalau aku di sini. Aku harap jiwanya melihatku, duduk di sampingku, mendengarkan isi hatiku, dan segera kembali pada raganya. Tapi, jika ia bangun akankah ia memaafkanku? Atau malah marah-marah padaku dan menyalahkanku atas kecelakaan yang menimpa dirinya itu?
          Sulit untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak bersalah dan bahwa Dewi akan baik-baik saja. Namun apabila Dewi akan tersadar, aku akan dengan amat senang hati menyapa hadirnya. Membawanya kembai pada hidup dan aku akan membuat Dewi menilai hidup ini indah.

0 comment:

Posting Komentar