Kacau
|
sekali hidupku saat ini. Dan,
menyendiri. Itulah yang kuinginkan. Aku muak hadir dalam kerumunan orang-orang
yang tak sejalan denganku. Telingaku lelah mendengarkan celotehan tak penting
dari mulut-mulut mereka. Aku lebih suka menyematkan earphone pada kedua telingaku, memutar lagu kesukaanku dengan suara
semaksimal mungkin.
Ada sebuah tangan yang menepuk-nepuk
pundakku. Tak kuhiraukan. Tangan itu terus menepuk pundakku. Namun ku tetap
menikmati laguku. Hingga akhirnya tangan itu memberanikan untuk mencabut earphone dari telingaku. Aku terperanjat.
Kesal.
“Ganggu sekali kamu ini!” Teriakku
pada seorang gadis di hadapanku, si pemilik tangan tadi.
“Tak usah teriak begitu! Dari tadi asyik
sendiri saja. Tak menghiraukan KM yang dari tadi bicara di depan.” Balas gadis
itu, sinis.
“Aku tak peduli apapun yang dia
bicarakan.” Kataku sambil memasang kembali earphone
di telingaku. Dengan cepat gadis itu melepaskan benda yang tersemat di
telingaku itu secara paksa.
“Dimas! Tolong sekali ini saja
dengarkan dulu! Ini penting. Kau tahu kan Dewi sudah seminggu lebih tak masuk
sekolah? Ternyata dia dirawat di rumah sakit. Rencananya kita sekelas mau
menjenguk dia pulang sekolah nanti. Kamu mau ikut tidak?”
“Tidak!” Jawabku ketus. Aku langsung
ke luar kelas kemudian duduk di bangku depan kelas.
Dewi... memang dia telah tidak sekolah
selama satu minggu ini. Teman-teman sekelas tak ada yang tahu ke mana ia.
Sepertinya mereka baru mengetahuinya hari ini. Namun aku sudah mengetahuinya
dari awal. Tentu saja aku tahu.
Karena...
Akulah penyebabnya.
“Aku bosan denganmu. Aku bosan melihat
wajahmu setiap hari. Kita sudahi saja hubungan kita.” Kataku sambil memalingkan
wajah dari hadapan Dewi.
“Bosan katamu? Dimas, kita ini baru
saja berpacaran kurang dari tiga bulan. Aku selalu menuruti kemauanmu, termasuk
tidak memberitahu pada siapa-siapa tentang hubungan kita ini.” Jawab Dewi.
“Pokoknya aku bosan. Aku ingin
sendiri.” Tanpa melihat ke arahnya lagi, aku jalan menjauh darinya. Dewi
mengejar dan menarik tanganku.
“Dimas, aku mohon jangan perlakukan
aku seperti ini. Kamu tahu kan aku sangat sayang kamu. Aku akan menuruti semua
kata-kata kamu. Tapi tolong jangan tinggalkan aku.” Air mata mulai mengalir
pada pipi lembut Dewi. Aku tak tahan melihatnya menangis. Aku langsung bergegas
pergi.
Itulah percakapan terakhirku dengan
Dewi. Tak berapa lama setelah aku meninggalkan Dewi, aku mendapat telepon dari
ibunya bahwa Dewi kecelakaan. Entah bagaimana, Dewi hingga sekarang belum
sadarkan diri.
Hatiku remuk.
Penyesalan ini... setiap malam aku
selalu menyalahkan diriku atas kejadian yang menimpa Dewi. Aku sudah minta maaf
pada kedua orang tua Dewi. Namun mereka terlalu baik, mereka bilang ini bukan
salahku. Ini adalah takdir Tuhan. Tapi tetap saja rasa sesal membanjiri hatiku.
Orang tua Dewi memintaku agar tidak
memberitahukan keadaan Dewi kepada teman-teman yang lain. Mereka tidak ingin
membuat orang lain khawatir akan keadaan anaknya. Mereka juga tak suka
dikasihani. Tapi aku tak mengerti hari ini mengapa teman yang lain tahu bahwa
Dewi dirawat di rumah sakit.
Tiga hari pertama Dewi masuk rumah
sakit, aku selalu setia menungguinya. Berharap ia membuka kelopak matanya
sehingga terlihat lagi bola mata indahnya. Mata yang sama saat ia mengeluarkan
air matanya, karena aku...
Tapi aku lelah karena ia tak kunjung
membuka matanya. Aku lelah menatap raga yang jiwanya entah di mana. Aku kesal.
Aku marah pada diriku sendiri atas perlakuanku pada Dewi saat itu.
Seandainya aku tak bosan.
Seandainya aku lebih memikirkan
perasaan Dewi.
Seandainya waktu terluang kembali.
Itulah pengandaian-pengandaian yang
membebani pikiranku selama seminggu ini. Selama jiwa Dewi sedang berkeliaran.
Yang paling aku takuti adalah
kehilangan jiwa yang tulus menyayangiku, bahkan mencintaiku.
Ya, aku tahu dia mencintaiku dengan
sungguh-sungguh. Semua itu terbukti dari sikapnya padaku. Dia selalu ada
untukku. Dia tak pernah cerewet untuk meminta apa pun padaku seperti
perempuan-perempuan labil lainnya. Dewi bukan perempuan muda yang labil. Dia
berpikiran dewasa untuk ukuran perempuan berumur 17 tahun seperti dirinya.
Dalam hubungan kami, aku yang lebih suka marah dan dia yang menenangkanku. Dia
tak pernah memarahiku, dia selalu sabar menghadapi diriku ini. Kebaikannya
itulah yang membuat aku bosan. Namun, kini aku baru menyadari bahwa hal itu
amat langka. Hal yang seharusnya aku jaga dan berikan balasan yang layak.
Sayang sekali aku baru menyadari itu
setelah Dewi tak ada di sampingku. Aku amat merindukannya. Merindukan parasnya yang
cantik, terlebih aku merindukan satu lesung pipit yang hanya ia punya di pipi
sebelah kirinya. Tidak, aku tidak hanya merindukan itu. Aku merindukan segala
hal tentang Dewi.
Hal yang membebani pikiranku adalah
Dewi yang tak akan bangun lagi. Aku
stres memikirkan itu, hidupku terasa hampa. Memikirkan jiwa Dewi yang entah di
mana, jiwaku ikut hilang. Seakan jiwaku ikut mencari jiwa Dewi. Hidupku jadi
tak bergairah lagi.
“Dimas, kamu yakin tak akan ikut
menjenguk Dewi?” Kali ini KM yang menanyaiku.
Aku hanya menggelengkan kepalaku. KM
itu pergi bersama teman-teman kelas yang lain untuk menjenguk Dewi.
“Eh, Dim. Sini ikut aku. Ada yang mau
aku omongin sama kamu.” Seorang gadis bertubuh mungil menarik tanganku. Ia
adalah Wina, sahabat Dewi.
“Ada apa, Win? Kalau tak penting aku
tak mau mendengarkanmu.”
“Ini penting, maka dari itu aku
mengajakmu berbicara.”
“Baiklah, silahkan.”
“Kamu kenapa, sih? Aku perhatikan,
sejak Dewi tidak masuk sekolah, kamu jadi suka murung. Suka menyendiri.
Biasanya kamu suka banyak ngomong di kelas dan bercanda ria dengan yang lain.
Tapi sekarang? Apa ada hubungannya dengan Dewi?”
“Bukan urusan kamu, Win.”
“Jelas ada urusannya kalau ini
berhubungan dengan Dewi!”
“Baiklah...” Aku ceritakan pada Wina
mengenai aku dan Dewi. Semuanya. Serinci-rincinya.
“Dasar kau lelaki berotak udang!
Seperti anak kecil saja bilang bosan dalam berpacaran! Lihat akibat perkataan
kamu itu Dewi jadi koma selama satu minggu. Kurang ajar sekali kau! Itu semua
salahmu!” Wina teriak dengan suara yang dapat memecahkah gendang telingaku.
“Iya, aku tahu. Tak perlu mengingatkan
diriku bahwa itu semua salahku. Aku sudah tahu itu. Aku selalu ingat itu!” Aku
tidak dapat menahan emosi lagi. Semua perasaan bersalah dalam hatiku membuatku
tak dapat lagi menahannya. Tanpa aku sadari aku berbicara dengan nada terlalu
tinggi pada perempuan itu.
“Oh, aku kira kamu nggak sadar sama
kesalahan kamu sendiri. Biasanya kan cowok suka kayak gitu. Sekarang kamu puas,
karena perbuatan kamu, Dewi jadi seperti ini? Kamu benci ya sama Dewi? Sampai
kamu pengen dia celaka.” Wina berucap dengan sinis.
“Wina! Ngomong apaan sih kamu? Aku
nggak pernah benci sama Dewi. Lalu siapa juga yang mau dia celaka. Aku tidak
pernah tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. aku sebenarnya masih sayang
padanya, aku ingin dia kembali seperti dulu.”
“Halah, dasar cowok! Waktu Dewi masih
ada, kamu sia-siakan kehadirannya. Sekarang baru ngerasa kehilangan. Semua
cowok sama aja ya!”
Wina langung meninggalkan ku setelah
ucapan itu. Semua orang tidak mengerti perasaan hatiku. Semua orang tidak tahu
betapa menyesalnya diriku. Mereka hanya dapat menyalahkan dan menyalahkan.
Pikiranku semakin kacau. Aku tak tahu
harus bagaimana lagi kecuali mendoakan Dewi supaya cepat sadar.
Pulang sekolah, tanpa berpikir pulang
ke rumah untuk ganti baju, aku mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan
tinggi. Melewati batas kota yang aku tinggali selama ini. Pergi sejauh mungkin
untuk menghindari rasa bersalahku. Aku memang pengecut. Hanya bisa pergi, tak
sanggup untuk menghadapinya.
Aku tak sanggup bila menghadapi
kenyataan bahwa Dewi tak akan sadar. Bahwa Dewi akan meninggalkan aku tanpa
memberikan kesempatan padaku untuk meminta maaf dan membuat segalanya menjadi
lebih baik.
Aku sampai di sebuah tempat yang
sangat sepi, tak tahu di mana. Yang pasti, ini tempat yang cocok untuk
berdiskusi dengan diriku sendiri. Apa yang harus aku lakukan?
Aku selalu memikirkan bagaimana
keadaan raga Dewi yang sedang tak sadarkan diri itu? Apakah jiwanya masih di
dalam raga Dewi atau sedang asyik berkelana? Jika ia, aku harap jiwanya
mengetahui kalau aku di sini. Aku harap jiwanya melihatku, duduk di sampingku,
mendengarkan isi hatiku, dan segera kembali pada raganya. Tapi, jika ia bangun
akankah ia memaafkanku? Atau malah marah-marah padaku dan menyalahkanku atas
kecelakaan yang menimpa dirinya itu?
Sulit untuk meyakinkan diriku bahwa
aku tidak bersalah dan bahwa Dewi akan baik-baik saja. Namun apabila Dewi akan
tersadar, aku akan dengan amat senang hati menyapa hadirnya. Membawanya kembai
pada hidup dan aku akan membuat Dewi menilai hidup ini indah.
0 comment:
Posting Komentar