Kamu
|
hilang. Kamu merasa tersesat meski di tempat
yang telah kamu tempati selama ini. Kamu tak pernah bebas, meski kamu sangat
ingin. Kamu selalu diikuti bayangan itu. Jadi kamu tak sendiri, tapi kamu
selalu merasa sendiri. Karena bukan dengannya kamu ingin ditemani.
Saat
terang pun kamu tak bisa melihat dengan jelas. Tak bisa membedakan mana yang
baik dan yang buruk bagi diri kamu sendiri.
Kamu
bercerita padaku. Tentang apapun. Meski tak semuanya. Namun, kamu tak perlu
khawatir, karena aku mengerti. Percayalah. Dari gerak-gerikmu, aku dapat
membacanya. Dari matamu, aku dapat merasakannya. Aku selalu bisa tahu dari
adanya kamu.
Hingga
pada suatu malam yang dinginnya begitu menusuk, yang langitnya amat gelap tanpa
satu bintang pun, kamu datang padaku. Bercerita mengenai kelanjutan hidup kamu.
Namun, malam itu amat berbeda. Cerita itu amat berbeda. Kamu terlihat sangat
kacau. Kamu pun tidur di pangkuanku. Kamu memejamkan mata tapi tersadar.
“Aku
benar-benar lelah menghadapi hidupku. Aku tak pernah mendapatkan apa yang aku
mau. Tapi segala yang kubenci terus mendekatiku. Sejujurnya, kalau bisa, aku sangat ingin
menangis.” Remuk hatiku mendengar kamu berucap seperti itu. Selama ini kamu
memang selalu mengeluh mengenai hidup kamu, tapi kamu selalu tegar. Kamu selalu
tersenyum. Raga kamu kuat.
Tak
pernah aku menyangka lelaki berbadan kekar seperti kamu, ingin menangis. Aku
tak sanggup jika harus melihat kamu menangis. Namun, aku tidak mau melarang
kamu.
“Menangislah,
jika itu dapat mengeluarkan racun yang merusak hati dan pikiran kamu.” Aku
mengatakan itu sambil membelai rambutmu. Kamu yang ingin menangis, namun aku
yang mendahului kamu. Aku sakit melihat kamu sengsara.
Setelah
mendengar ucapanku, kamu bangkit dari pangkuanku. Kamu menempatkan wajah kamu
begitu dekat dengan wajahku hingga aku dapat merasakan hangatnya hembusan napas
kamu. Kamu pun berkata,
“ah
tidak, tidak bisa menangis. Aku tidak bisa jika kamu di sini. Kamu membuat aku
kuat. Dan meski kamu tidak benar-benar di samping aku, aku masih akan tetap
kuat. Berkat semua ucapan dan perlakuan kamu, aku merasa lebih baik. Kamu
cahaya yang menerangi hidupku. Kamu yang membukakan pintu keluar dari dunia
kelam.”
Kamu
menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku tak menjawab apa-apa, kamu juga tak
menuntut jawaban apa-apa dariku. Kamu diam. Aku diam. Kita hanya saling
menikmati pandangan mata itu.
Aku
sangat senang mendengar hal itu. Perjuangan kita tidak sia-sia. Perjuangan
menarik kamu dari dunia kelam sialan itu.
Kemiskinan,
kejahatan, kesembronoan, kekerasan.
Kamu
terperangkap dalam dunia itu. Orang lain menganggap kamu bagian dari pada
hal-hal jahanam itu. Mereka menganggap kamu buruk hanya karena kamu tidak
sejalan dengan mereka. Tapi mereka tidak tahu sisi lain dirimu. Sisi yang
benar-benar ada di jiwa kamu yang paling dalam sehingga sulit ditemukan oleh
orang lain. Hal itu tidak pernah kamu tunjukan kepada orang lain selain diriku.
Hal yang membuat aku jatuh cinta sama kamu.
Aku
sendiri tak mengerti mengapa aku bisa terjatuh dalam cinta kamu. Aku tak pernah
merencanakan ini sebelumnya. Kamu sendiri yang menyebabkan ini terjadi. Kamu
yang tiba-tiba datang ke hidup aku, meski aku tidak pernah menyambut kamu
dengan baik. Kamu selalu mencoba untuk bertahan.
Kamu
hadir bukan memberi apa yang aku inginkan, tapi apa yang aku butuhkan.
Sementara aku sendiri tak pernah memberikan apa pun pada kamu. Kamu tidak
pernah menuntut apa pun dari aku. Kamu tidak pernah meminta aku untuk merubah
apa pun seolah aku ini wanita paling sempurna. Padahal banyak sekali kurangku
dibanding jutaan wanita di luar sana.
Bukan
karena materi yang kamu berikan, aku mencintai kamu. Bukan karena terpaksa
harus mencintai kamu. Bukan karena aku pernah merencanakan untuk mencintai
kamu. Tapi karena kamu telah mempercayai aku untuk hadir dan menemani kamu
dalam waktu terburuk dan waktu terindah di hidup kamu. Dengan begitu, aku
merasa sangat spesial.
Begitu
pun kamu yang selalu ada untuk mewarnai dalam masa-masa hitamku. Dan kita
bersama saat masa-masa yang berkilauan.
Namun,
ada suatu hari di mana aku lengah. Tanpa kusadari kamu masih di ambang pintu,
belum benar-benar keluar dari dunia kelam kamu selama ini. Kamu didatangi lagi
oleh mereka. Kamu diiming-imingi kesenangan dunia. Kamu merasa telah kehilangan
aku. Kamu merasa tak punya penarik lagi untuk keluar, jadi kamu masuk lagi ke
jalan buruk itu.
Kamu
sadar kamu salah, kamu sadar kamu butuh aku untuk menarik kamu. Kamu pun
mengumpulkan keberanian kamu untuk menemui aku lagi.
“Hai..”
Kamu menyapaku tanpa melihat wajahku.
Saat
itu, aku mengutamakan egoku. Aku marah padamu. Oleh karena itu aku menjawabmu
dengan ketus, “ada apa?”
“Hanya
ingin tahu kabar kamu.” Kamu masih menundukan kepala kamu.
“Oh.
Aku? Baik.” Aku mengangkat kepalaku dengan angkuh di hadapan kamu.
“Baguslah.”
“Itu
saja?”
“Em..
ada... eh ya, itu saja.”
“Ya
sudah, sampai jumpa.” Aku berbalik badan dan melangkah menjauh dari kamu. Kamu
pun berbalik badan ke lawan arah.
Aku
terus melangkah. Kamu pun begitu. Dengan arah yang bersilangan. Kurasa aku
sudah cukup jauh dari kamu. Lalu aku mendengar suara hentakan kaki yang cukup
kencang. Aku menoleh ke belakang.
Kamu
berlari ke arahku. Kamu memelukku. Erat.
Aku
berusaha lepas dari pelukan kamu. Tapi usaha itu tak berhasil.
“Jangan
lepas. Aku ingin selalu seperti ini. Tapi aku takut Tuhan tak akan mengijinkan
lagi.” Bisikmu di telinga kananku. Lalu aku spontan keluar dari pelukanmu.
Kekuatan itu dari amarahku.
“Apa-apaan
kamu ini? Sudah pergi tanpa pamit, sekarang seenaknya kamu datang lagi dan
berani berbicara seperti itu. Kamu pikir kamu siapa?” Aku berbicara padamu
dengan nada yang cukup tinggi. Kutahan amarahku. Aku berusaha bersikap anggun
di hadapan kamu. Aku berusaha keras menahan air mata yang sedari tadi ingin
membludak.
“Aku
tahu aku bukan siapa-siapa kamu. Tapi perlu kamu tahu, aku berusaha keras
menjadi siapa-siapa kamu. Namun, usahaku
sepertinya akan sia-sia. Aku harus kembali.” Kata kamu sambil menatapku. Oh,
tatapan itu... begitu menyakitkan.
“Kembali
ke mana maksud kamu? Kamu mau pergi jauh?”
“Tidak,
aku tidak akan pergi jauh. Aku tidak akan pernah meninggalkan kota ini. Tak
mungkin aku meninggalkan sesorang di kota ini.”
“Siapa
seseorang itu?”
“Nanti
juga kamu akan merasakannya sendiri.”
Itulah
kalimat terakhir dari kamu. Untaian kata yang tak pernah aku mengerti akan
maksudnya. Kamu membuat aku bingung.
Lama
setelah kejadian itu, kita berdua masih berpijak di atas tanah air yang sama.
Kota yang sama. Tapi jiwa kamu yang aku kenal, sepertinya sudah tak di sini
lagi.
Aku
lihat kamu berkecimpung kembali dalam duniamu. Kamu terlihat bahagia karena
kamu punya mereka dan semua hal itu, jadi aku tidak mau menarik kamu karena aku
pikir kamu sudah nyaman di sana dan memang lebih pantas di sana, bukan dengan diriku
yang tak berarti apa-apa. Aku tak mau ikut campur lagi dalam urusan kamu. Aku
membiarkan kamu terlarut bersama orang-orang yang kamu kira dapat membawa kamu
menuju kepuasaan yang abadi.
Tak
pernah kusangka, pembiaran itu akan menjadi hal yang paling aku sesali.
Itu
semua karena kamu menjadi air yang bodoh. Air yang mau saja bercampur dengan
segala jenis kotoran. Keruh. Menjijikan. Air bodoh yang mau-maunya terbawa oleh
arus dan tak tahu ke mana arus itu akan membawamu. Kamu jadi tak bertujuan.
Kamu tidak mengerti diri kamu sendiri. Kamu lupa siapa kamu. Kamu lupa dari
mana kamu berasal. Akhirnya kamu melangkah ke arah yang keliru. Aku benci kamu.
Kamu
sudah terlalu melekat pada mereka. Mereka merubah kamu menjadi sesuatu yang
bukan kamu. Kamu melaju di atas jalan yang salah. Kamu lupa ada jalan lain yang
lebih baik. Ragamu memang terlihat menikmati jalan yang kamu pilih sekarang.
Tapi, aku kenal kamu. Sangat. Kamu tidak mungkin suka seperti itu terus. Aku
melihat kedua mata kamu. Mereka melukiskan kesunyian yang amat pedih.
Aku
hancur melihat kamu seperti itu. Namun, aku telah lepas jauh dari kamu,
sehingga aku tidak dapat melakukan apa-apa. Aku ingin peduli, tapi aku tidak
dibolehkan melakukannya.
Kini
kamu sudah di udara menikmati kesenangan kamu bersama orang-orang itu. Sepertinya
aku telah benar-benar kamu hapus dari hidup kamu. Kesenangan yang kamu miliki
sekarang, kamu kira itu abadi.
Kamu
salah.
Tapi
kamu bangga. Kamu tak menghiraukan apa-apa yang telah kamu injak sebelum kamu
mencapai atas. Kamu lupa pada yang menghantarmu melewati tangga demi tangga
sampai kamu sekarang bisa benar-benar mengudara. Terlalu tebuai di atas sana,
hingga kamu lupa daratan.
Ya,
begitulah kamu. Lalu bagaimana denganku?
Aku
di sini, berdiri sendiri. Menjalani cara sendiri untuk menyelamatkan kamu dari
dunia itu. Kamu pasti tak menyadari apa yang aku lakukan untuk kamu. Kamu pasti
tak tahu.
Kamu
hanya tahu aku telah menghilang dari hidup kamu, tak pernah membantu kamu. Kamu
pun mencaci maki aku. Mengatakan aku tak pernah berjuang apapun untuk kamu.
Berjuang
untuk kamu?
Tak
perlu disebutkan. Tak perlu diketahui. Anggap saja aku memang tak pernah berjuang
untuk kamu. Kamu juga pasti tidak akan mendengarkan apabila aku
memberitahukannya.
Kamu
mungkin berpikir aku sudah tak layak dalam hidupmu karena aku tak pernah mau
memperjuangkanmu. Ketahuilah, aku meman tak pernah muncul di depan matamu. Tapi
banyak yang aku kerjakan. Secara diam-diam karena aku tak mau kau merasa
terusik dengan keberadaanku. Aku tak mau mengganggu kamu dan dunia kamu. Aku
takut merusak kebahagiaan kamu.
Tapi,
di satu sisi aku begitu yakin bahwa di dalam ragamu yang sekarang masih ada
jiwa yang dulu aku kenal. Meski telah tertutup kabut hitam yang begitu tebal. Aku
masih dapat merasakannya.
Bila
itu pilihan hati kamu, aku tak bisa melarangnya. Aku sadar aku tak dibutuhkan
lagi. Aku pergi.
Aku
pergi bukan untuk melupakanmu, melainkan untuk mengenangmu dan melihatmu dari
bawah sini.
Namun,
jangan terbang terlalu tinggi. Aku khawatir ketika kamu jatuh, kamu akan
merasakan sakit yang teramat.
Sesekali
kamu harus melihat ke bawah. Mengenal kembali daratan.
Kamu
seperti burung yang ingin bebas terbang di angkasa. Namun, setinggi-tingginya
burung terbang pasti ia akan kembali ke sarangnya.
Kamu
tak boleh dikalahkan oleh burung.
Kamu
tak boleh lupa daratan.
Selain
itu, kamu juga harus berhenti menjadi air. Kamu harus punya pendirian. Kamu
harus bertujuan.
Kamu
harus bahagia.
0 comment:
Posting Komentar