Februari 23, 2015

Cerita Pendek "Lupa Daratan"


Kamu
 hilang. Kamu merasa tersesat meski di tempat yang telah kamu tempati selama ini. Kamu tak pernah bebas, meski kamu sangat ingin. Kamu selalu diikuti bayangan itu. Jadi kamu tak sendiri, tapi kamu selalu merasa sendiri. Karena bukan dengannya kamu ingin ditemani.
Saat terang pun kamu tak bisa melihat dengan jelas. Tak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk bagi diri kamu sendiri.
Kamu bercerita padaku. Tentang apapun. Meski tak semuanya. Namun, kamu tak perlu khawatir, karena aku mengerti. Percayalah. Dari gerak-gerikmu, aku dapat membacanya. Dari matamu, aku dapat merasakannya. Aku selalu bisa tahu dari adanya kamu.
Hingga pada suatu malam yang dinginnya begitu menusuk, yang langitnya amat gelap tanpa satu bintang pun, kamu datang padaku. Bercerita mengenai kelanjutan hidup kamu. Namun, malam itu amat berbeda. Cerita itu amat berbeda. Kamu terlihat sangat kacau. Kamu pun tidur di pangkuanku. Kamu memejamkan mata tapi tersadar.

“Aku benar-benar lelah menghadapi hidupku. Aku tak pernah mendapatkan apa yang aku mau. Tapi segala yang kubenci terus mendekatiku.  Sejujurnya, kalau bisa, aku sangat ingin menangis.” Remuk hatiku mendengar kamu berucap seperti itu. Selama ini kamu memang selalu mengeluh mengenai hidup kamu, tapi kamu selalu tegar. Kamu selalu tersenyum. Raga kamu kuat.
Tak pernah aku menyangka lelaki berbadan kekar seperti kamu, ingin menangis. Aku tak sanggup jika harus melihat kamu menangis. Namun, aku tidak mau melarang kamu.
“Menangislah, jika itu dapat mengeluarkan racun yang merusak hati dan pikiran kamu.” Aku mengatakan itu sambil membelai rambutmu. Kamu yang ingin menangis, namun aku yang mendahului kamu. Aku sakit melihat kamu sengsara.
Setelah mendengar ucapanku, kamu bangkit dari pangkuanku. Kamu menempatkan wajah kamu begitu dekat dengan wajahku hingga aku dapat merasakan hangatnya hembusan napas kamu. Kamu pun berkata,
“ah tidak, tidak bisa menangis. Aku tidak bisa jika kamu di sini. Kamu membuat aku kuat. Dan meski kamu tidak benar-benar di samping aku, aku masih akan tetap kuat. Berkat semua ucapan dan perlakuan kamu, aku merasa lebih baik. Kamu cahaya yang menerangi hidupku. Kamu yang membukakan pintu keluar dari dunia kelam.”
Kamu menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku tak menjawab apa-apa, kamu juga tak menuntut jawaban apa-apa dariku. Kamu diam. Aku diam. Kita hanya saling menikmati pandangan mata itu.
Aku sangat senang mendengar hal itu. Perjuangan kita tidak sia-sia. Perjuangan menarik kamu dari dunia kelam sialan itu.
Kemiskinan, kejahatan, kesembronoan, kekerasan.
Kamu terperangkap dalam dunia itu. Orang lain menganggap kamu bagian dari pada hal-hal jahanam itu. Mereka menganggap kamu buruk hanya karena kamu tidak sejalan dengan mereka. Tapi mereka tidak tahu sisi lain dirimu. Sisi yang benar-benar ada di jiwa kamu yang paling dalam sehingga sulit ditemukan oleh orang lain. Hal itu tidak pernah kamu tunjukan kepada orang lain selain diriku. Hal yang membuat aku jatuh cinta sama kamu.
Aku sendiri tak mengerti mengapa aku bisa terjatuh dalam cinta kamu. Aku tak pernah merencanakan ini sebelumnya. Kamu sendiri yang menyebabkan ini terjadi. Kamu yang tiba-tiba datang ke hidup aku, meski aku tidak pernah menyambut kamu dengan baik. Kamu selalu mencoba untuk bertahan.
Kamu hadir bukan memberi apa yang aku inginkan, tapi apa yang aku butuhkan. Sementara aku sendiri tak pernah memberikan apa pun pada kamu. Kamu tidak pernah menuntut apa pun dari aku. Kamu tidak pernah meminta aku untuk merubah apa pun seolah aku ini wanita paling sempurna. Padahal banyak sekali kurangku dibanding jutaan wanita di luar sana.
Bukan karena materi yang kamu berikan, aku mencintai kamu. Bukan karena terpaksa harus mencintai kamu. Bukan karena aku pernah merencanakan untuk mencintai kamu. Tapi karena kamu telah mempercayai aku untuk hadir dan menemani kamu dalam waktu terburuk dan waktu terindah di hidup kamu. Dengan begitu, aku merasa sangat spesial.
Begitu pun kamu yang selalu ada untuk mewarnai dalam masa-masa hitamku. Dan kita bersama saat masa-masa yang berkilauan.
Namun, ada suatu hari di mana aku lengah. Tanpa kusadari kamu masih di ambang pintu, belum benar-benar keluar dari dunia kelam kamu selama ini. Kamu didatangi lagi oleh mereka. Kamu diiming-imingi kesenangan dunia. Kamu merasa telah kehilangan aku. Kamu merasa tak punya penarik lagi untuk keluar, jadi kamu masuk lagi ke jalan buruk itu.
Kamu sadar kamu salah, kamu sadar kamu butuh aku untuk menarik kamu. Kamu pun mengumpulkan keberanian kamu untuk menemui aku lagi.
“Hai..” Kamu menyapaku tanpa melihat wajahku.
Saat itu, aku mengutamakan egoku. Aku marah padamu. Oleh karena itu aku menjawabmu dengan ketus, “ada apa?”
“Hanya ingin tahu kabar kamu.” Kamu masih menundukan kepala kamu.
“Oh. Aku? Baik.” Aku mengangkat kepalaku dengan angkuh di hadapan kamu.
“Baguslah.”
“Itu saja?”
“Em.. ada... eh ya, itu saja.”
“Ya sudah, sampai jumpa.” Aku berbalik badan dan melangkah menjauh dari kamu. Kamu pun berbalik badan ke lawan arah.
Aku terus melangkah. Kamu pun begitu. Dengan arah yang bersilangan. Kurasa aku sudah cukup jauh dari kamu. Lalu aku mendengar suara hentakan kaki yang cukup kencang. Aku menoleh ke belakang.
Kamu berlari ke arahku. Kamu memelukku. Erat.
Aku berusaha lepas dari pelukan kamu. Tapi usaha itu tak berhasil.
“Jangan lepas. Aku ingin selalu seperti ini. Tapi aku takut Tuhan tak akan mengijinkan lagi.” Bisikmu di telinga kananku. Lalu aku spontan keluar dari pelukanmu. Kekuatan itu dari amarahku.
“Apa-apaan kamu ini? Sudah pergi tanpa pamit, sekarang seenaknya kamu datang lagi dan berani berbicara seperti itu. Kamu pikir kamu siapa?” Aku berbicara padamu dengan nada yang cukup tinggi. Kutahan amarahku. Aku berusaha bersikap anggun di hadapan kamu. Aku berusaha keras menahan air mata yang sedari tadi ingin membludak.
“Aku tahu aku bukan siapa-siapa kamu. Tapi perlu kamu tahu, aku berusaha keras menjadi siapa-siapa kamu. Namun, usahaku sepertinya akan sia-sia. Aku harus kembali.” Kata kamu sambil menatapku. Oh, tatapan itu... begitu menyakitkan.
“Kembali ke mana maksud kamu? Kamu mau pergi jauh?”
“Tidak, aku tidak akan pergi jauh. Aku tidak akan pernah meninggalkan kota ini. Tak mungkin aku meninggalkan sesorang di kota ini.”
“Siapa seseorang itu?”
“Nanti juga kamu akan merasakannya sendiri.”
Itulah kalimat terakhir dari kamu. Untaian kata yang tak pernah aku mengerti akan maksudnya. Kamu membuat aku bingung.


Lama setelah kejadian itu, kita berdua masih berpijak di atas tanah air yang sama. Kota yang sama. Tapi jiwa kamu yang aku kenal, sepertinya sudah tak di sini lagi.
Aku lihat kamu berkecimpung kembali dalam duniamu. Kamu terlihat bahagia karena kamu punya mereka dan semua hal itu, jadi aku tidak mau menarik kamu karena aku pikir kamu sudah nyaman di sana dan memang lebih pantas di sana, bukan dengan diriku yang tak berarti apa-apa. Aku tak mau ikut campur lagi dalam urusan kamu. Aku membiarkan kamu terlarut bersama orang-orang yang kamu kira dapat membawa kamu menuju kepuasaan yang abadi.
Tak pernah kusangka, pembiaran itu akan menjadi hal yang paling aku sesali.
Itu semua karena kamu menjadi air yang bodoh. Air yang mau saja bercampur dengan segala jenis kotoran. Keruh. Menjijikan. Air bodoh yang mau-maunya terbawa oleh arus dan tak tahu ke mana arus itu akan membawamu. Kamu jadi tak bertujuan. Kamu tidak mengerti diri kamu sendiri. Kamu lupa siapa kamu. Kamu lupa dari mana kamu berasal. Akhirnya kamu melangkah ke arah yang keliru. Aku benci kamu.
Kamu sudah terlalu melekat pada mereka. Mereka merubah kamu menjadi sesuatu yang bukan kamu. Kamu melaju di atas jalan yang salah. Kamu lupa ada jalan lain yang lebih baik. Ragamu memang terlihat menikmati jalan yang kamu pilih sekarang. Tapi, aku kenal kamu. Sangat. Kamu tidak mungkin suka seperti itu terus. Aku melihat kedua mata kamu. Mereka melukiskan kesunyian yang amat pedih.
Aku hancur melihat kamu seperti itu. Namun, aku telah lepas jauh dari kamu, sehingga aku tidak dapat melakukan apa-apa. Aku ingin peduli, tapi aku tidak dibolehkan melakukannya.
Kini kamu sudah di udara menikmati kesenangan kamu bersama orang-orang itu. Sepertinya aku telah benar-benar kamu hapus dari hidup kamu. Kesenangan yang kamu miliki sekarang, kamu kira itu abadi.
Kamu salah.
Tapi kamu bangga. Kamu tak menghiraukan apa-apa yang telah kamu injak sebelum kamu mencapai atas. Kamu lupa pada yang menghantarmu melewati tangga demi tangga sampai kamu sekarang bisa benar-benar mengudara. Terlalu tebuai di atas sana, hingga kamu lupa daratan.
Ya, begitulah kamu. Lalu bagaimana denganku?
Aku di sini, berdiri sendiri. Menjalani cara sendiri untuk menyelamatkan kamu dari dunia itu. Kamu pasti tak menyadari apa yang aku lakukan untuk kamu. Kamu pasti tak tahu.
Kamu hanya tahu aku telah menghilang dari hidup kamu, tak pernah membantu kamu. Kamu pun mencaci maki aku. Mengatakan aku tak pernah berjuang apapun untuk kamu.
Berjuang untuk kamu?
Tak perlu disebutkan. Tak perlu diketahui. Anggap saja aku memang tak pernah berjuang untuk kamu. Kamu juga pasti tidak akan mendengarkan apabila aku memberitahukannya.
Kamu mungkin berpikir aku sudah tak layak dalam hidupmu karena aku tak pernah mau memperjuangkanmu. Ketahuilah, aku meman tak pernah muncul di depan matamu. Tapi banyak yang aku kerjakan. Secara diam-diam karena aku tak mau kau merasa terusik dengan keberadaanku. Aku tak mau mengganggu kamu dan dunia kamu. Aku takut merusak kebahagiaan kamu.
Tapi, di satu sisi aku begitu yakin bahwa di dalam ragamu yang sekarang masih ada jiwa yang dulu aku kenal. Meski telah tertutup kabut hitam yang begitu tebal. Aku masih dapat merasakannya.

Bila itu pilihan hati kamu, aku tak bisa melarangnya. Aku sadar aku tak dibutuhkan lagi. Aku pergi.
Aku pergi bukan untuk melupakanmu, melainkan untuk mengenangmu dan melihatmu dari bawah sini.
Namun, jangan terbang terlalu tinggi. Aku khawatir ketika kamu jatuh, kamu akan merasakan sakit yang teramat.
Sesekali kamu harus melihat ke bawah. Mengenal kembali daratan.
Kamu seperti burung yang ingin bebas terbang di angkasa. Namun, setinggi-tingginya burung terbang pasti ia akan kembali ke sarangnya.
Kamu tak boleh dikalahkan oleh burung.
Kamu tak boleh lupa daratan.
Selain itu, kamu juga harus berhenti menjadi air. Kamu harus punya pendirian. Kamu harus bertujuan.
Kamu harus bahagia.

0 comment:

Posting Komentar