Februari 23, 2015

Cerita Pendek "Berahi"


Angin malam siap menusukku kapan saja. Aku terbaring kembali. Di atas kasur yang sama. Kasur yang menjadi surga kami. Tempat terciptanya gerakan indah disertai suara-suara lembut yang berhasil menggelorakan api cinta di dalam jiwa kami.
            Aku berbaring di sisi kanan kasur ini, dan dia di sisi kiri. Dia adalah istriku, Inez Sarasta. Aku jatuh cinta pada dirinya. Jatuh cinta pada wajahnya. Jatuh cinta pada ucapannya. Jatuh cinta pada kelebihan dan kekuarangannya. Ah tidak, dia tak memiliki kekurangan. Dia teramat sempurna bagiku. Beruntungnya aku memiliki bidadari ini.

“Inez Sarasta, aku sangat, sangat, sangat mencintaimu.” Bisikku padanya di suatu malam.
“Terimakasih, sayang. Kau tahu? Kau tak perlu mencintaimu sesangat-sangat itu. Kau hanya perlu mencintaiku dengan cara yang biasa. Dengan batas sewajarnya. Itu telah membuatku bahagia. Kamu harus tahu, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.”
            Bukan hanya Inez yang berpendapat seperti itu, orang lain juga melarang aku untuk mencintai Inez secara berlebihan. Mereka bilang perasaanku ini bukan rasa cinta yang tulus, melainkan obsesi. Tapi aku tidak peduli apa kata mereka, aku sendiri yang merasakannya dan aku yakin ini adalah rasa cinta yang begitu dahsyat.
            Inez memberikan apa yang aku butuhkan. Padahal dia tak melakukan apa-apa. Paras Inez demikian cantiknya sehingga aku pun sangat memberahikannya. Hanya memandang wajahnya saja, berahiku bangkit. Itulah permulaan dari seni gerak indah yang akan kami lakukan setelahnya.
            “Cumbu rayumu memberahikan hatiku, sayang.” Bisik Inez padaku di salah satu malam indah kami.
            “Itu sudah seharusnya, sayang.” Kujawab sambil tersenyum padanya.
            “Tapi, tidakkah bosan kau melakukan ini?”
            “Bosan? Oh Inezku sayang, tubuhmu ini tak akan pernah membuatku bosan. Yang ada semakin hari semakin membuatku penasaran untuk menjelajahinya.” Ujarku sambil membelai tubuhnya.
            “Tapi aku tak kunjung menghasilkan buah cinta kita.” Raut wajahnya berubah menjadi mendung.
            “Sayang, tak perlulah kau pikirkan itu. Kita nikmati saja malam-malam kita berdua.”
            “Tap Ivan, bukankah tujuan kita menikah untuk membangun sebuah keluarga? Menghasillkan keturunan... aku juga ingin menjadi wanita yang sempurna. Memiliki anak seperti wanita-wanita lainnya. Aku ingin segera mewujudkannya. Bukankah kau ingin menjadi seorang ayah? Kita ini sudah tujuh tahun menikah. Semua cara telah kita lakukan setiap malam demi menghasilkan buah hati. Oh, Ivan, bagaimana kalau ternyata aku ini man....”
            Aku segera mengecup bibir indahnya agar dia berhenti bicara. Menempelkan bibirku pada bibirnya untuk beberapa saat. Hingga itu pun terbuka. Mempertemukan lidah kami dan membiarkan mereka menari dengan apiknya.
            Itu adalah cara yang ampuh untuk menghentikan ucapannya. Aku tak peduli Inez mandul atau tidak. Aku tak peduli kami akan mempunyai anak atau tidak. Aku hanya ingin menikmati saat-saat kami berdua. Tak ingin terganggu oleh siapapun atau apapun. Karena ketika itu kami sudah sempurna hanya berdua saja. Ya, ketika itu...


            Cerita tadi bukanlah apa yang aku alami saat kini, bukan pula khayalanku semata. Hal itu benar-benar nyata, benar-benar terjadi. Hanya saja.... sepuluh tahun yang lalu.
            Ya, malam ini tepat sepuluh tahun kepergian Inez. Aku memperingati hari itu di atas kasur ini. Aku berbaring di sisi kiri, dan aku membaringkan baju tidur kesukaan Inez di samping kiriku. Dengan itu aku merasa dia nyata. Aku pun menikmati malam ini dengan imjinasiku. Tapi percayalah, Inez masih terasa sangat nyata bagiku.


            “Inez, kau di mana sayang? Mengapa larut malam begini kau belum sampai rumah?” Aku menelepon Inez tepat jam sebelas malam.
            “Ivan sayang, tadi aku pulang kerja bertemu dengan teman SMA-ku. Lalu kami berbincang di Kafe Biru. Kamu tahu kan kafe itu? Aku sampai lupa waktu dan tak ingat untuk berpamitan padamu. Sekarang aku ada di halte dekat Kafe Biru. Di sini hujan deras, aku sendirian, kedinginan, cepat jemput aku.”
            “Ya ampun! Kau ini selalu membuatku khawatir. Kau tunggu di sana, aku akan menjemputmu segera.”
            Aku pun segera menarik gas motorku menuju halte itu. Kafe Biru tidaklah dekat dengan rumah kami. Aku mengendarai motorku dengan kecepatan maksimal. Perasaanku sudah tak karuan. Pikiranku kacau. Pikiran negatif berkecamuk dalam otakku. Terbayang tubuh inez yang menggigil kedinginan. Terbayang sepinya dia karena sendirian di sana. Bagaimana kalau ada orang jahat dan memperkosa Inez? Bagaimana? Takut sekali akan kehilangan dirinya.            
Motorku sudah melaju sangat kencang. Jalanan sudah lengang. Tapi mengapa terasa lama sekali untuk sampai di sana. Tak sabar aku membawa Inez pulang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku akan mengutuk diriku sendiri.
Satu jam kemudian aku sampai di halte yang Inez sebutkan tadi.
            Tapi Inez tak ada di sana.
            Di halte itu tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa.
            Aku pun berteriak memanggil-manggil nama Inez. Tapi sama sekali tak ada jawaban. Aku menghubungi ponselnya. Nada deringnya terdengar olehku. Lalu aku menghampiri sumber suara itu, ternyata dari gang kecil yang amat dekat dengan halte tadi. Keadaan sangat sepi. Gang itu gelap sekali. Aku pun memanfaatkan lampu dari ponselku. Aku menelusuri gang itu dengan berjalan kaki. Lalu aku temukan sehelai rok yang tak asing bagiku. Rok hitam yang dipakai Inez untuk bekerja hari ini. Aku melangkah lagi ke depan.
Ku lihat tubuh indah Inez tergeletak begitu saja. Tanpa sehelai pakaian pun. Tapi banyak tanda memar di tubuhnya itu. Matanya terpejam. Aku langsung memeluk tubuh itu dengan erat. Aku membuka jaketku untuk melindungi tubuh itu. Aku mencoba membangunkan Inez.
   Tapi ia tak kunjung tersadar.
   “Ineeeeeeez!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya.


Itulah kejadian paling pahit dalam hidupku. Sejak kepergian Inez, jiwaku pun ikut pergi. Aku sangat mencintai Inez jadi sangat berat untuk melepaskannya. Aku sangat menyesal tak selalu berada di sampingnya. Tak dapat menjaganya sepenuh waktu. Aku terus menyalahkan diriku sendiri.
Pelaku yang memperkosa dan membunuh tak pernah kuketahui. Karena aku memang tidak mau tahu. Jika saja aku tahu, pasti aku akan menyiksa penjahat itu, aku akan membuatnya menderita sebelum akhirnya kubunuh.
Aku sudah seperti orang gila sejak kehilangannya. aku bisa hidup tanpanya. Tapi ini bukan jalan yang aku inginkan. Sepuluh tahun ini aku berusaha hidup tanpa raganya. Namun aku masih dapat merasakan jiwanya dalam jiwaku, begitu kuat.
Aku juga masih merasakan cintanya. Hidup dengan menganggap Inez masih ada. Tak pernah sekalipun aku berpikir untuk mencari penggantinya.
Rasa cintaku telah habis, untuk Inez seorang.
Berahiku hanya bangkit karenanya.

0 comment:

Posting Komentar