Angin malam siap menusukku kapan saja. Aku terbaring kembali. Di atas kasur yang sama. Kasur yang menjadi surga kami.
Tempat terciptanya gerakan indah disertai suara-suara lembut yang berhasil
menggelorakan api cinta di dalam jiwa kami.
Aku berbaring di sisi kanan kasur
ini, dan dia di sisi kiri. Dia adalah istriku, Inez Sarasta. Aku jatuh cinta
pada dirinya. Jatuh cinta pada wajahnya. Jatuh cinta pada ucapannya. Jatuh
cinta pada kelebihan dan kekuarangannya. Ah tidak, dia tak memiliki kekurangan.
Dia teramat sempurna bagiku. Beruntungnya aku memiliki bidadari ini.
“Inez
Sarasta, aku sangat, sangat, sangat mencintaimu.” Bisikku padanya di suatu
malam.
“Terimakasih,
sayang. Kau tahu? Kau tak perlu mencintaimu sesangat-sangat itu. Kau hanya
perlu mencintaiku dengan cara yang biasa. Dengan batas sewajarnya. Itu telah
membuatku bahagia. Kamu harus tahu, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.”
Bukan hanya Inez yang berpendapat
seperti itu, orang lain juga melarang aku untuk mencintai Inez secara
berlebihan. Mereka bilang perasaanku ini bukan rasa cinta yang tulus, melainkan
obsesi. Tapi aku tidak peduli apa kata mereka, aku sendiri yang merasakannya
dan aku yakin ini adalah rasa cinta yang begitu dahsyat.
Inez memberikan apa yang aku
butuhkan. Padahal dia tak melakukan apa-apa. Paras Inez demikian cantiknya
sehingga aku pun sangat memberahikannya. Hanya memandang wajahnya saja,
berahiku bangkit. Itulah permulaan dari seni gerak indah yang akan kami lakukan
setelahnya.
“Cumbu rayumu memberahikan hatiku,
sayang.” Bisik Inez padaku di salah satu malam indah kami.
“Itu sudah seharusnya, sayang.”
Kujawab sambil tersenyum padanya.
“Tapi, tidakkah bosan kau melakukan
ini?”
“Bosan? Oh Inezku sayang, tubuhmu
ini tak akan pernah membuatku bosan. Yang ada semakin hari semakin membuatku
penasaran untuk menjelajahinya.” Ujarku sambil membelai tubuhnya.
“Tapi aku tak kunjung menghasilkan
buah cinta kita.” Raut wajahnya berubah menjadi mendung.
“Sayang, tak perlulah kau pikirkan
itu. Kita nikmati saja malam-malam kita berdua.”
“Tap Ivan, bukankah tujuan kita
menikah untuk membangun sebuah keluarga? Menghasillkan keturunan... aku juga
ingin menjadi wanita yang sempurna. Memiliki anak seperti wanita-wanita
lainnya. Aku ingin segera mewujudkannya. Bukankah kau ingin menjadi seorang
ayah? Kita ini sudah tujuh tahun menikah. Semua cara telah kita lakukan setiap
malam demi menghasilkan buah hati. Oh, Ivan, bagaimana kalau ternyata aku ini
man....”
Aku segera mengecup bibir indahnya
agar dia berhenti bicara. Menempelkan bibirku pada bibirnya untuk beberapa
saat. Hingga itu pun terbuka. Mempertemukan lidah kami dan membiarkan mereka
menari dengan apiknya.
Itu adalah cara yang ampuh untuk
menghentikan ucapannya. Aku tak peduli Inez mandul atau tidak. Aku tak peduli
kami akan mempunyai anak atau tidak. Aku hanya ingin menikmati saat-saat kami
berdua. Tak ingin terganggu oleh siapapun atau apapun. Karena ketika itu kami
sudah sempurna hanya berdua saja. Ya, ketika itu...
Cerita tadi bukanlah apa yang aku
alami saat kini, bukan pula khayalanku semata. Hal itu benar-benar nyata,
benar-benar terjadi. Hanya saja.... sepuluh tahun yang lalu.
Ya, malam ini tepat sepuluh tahun
kepergian Inez. Aku memperingati hari itu di atas kasur ini. Aku berbaring di
sisi kiri, dan aku membaringkan baju tidur kesukaan Inez di samping kiriku.
Dengan itu aku merasa dia nyata. Aku pun menikmati malam ini dengan imjinasiku.
Tapi percayalah, Inez masih terasa sangat nyata bagiku.
“Inez, kau di mana sayang? Mengapa
larut malam begini kau belum sampai rumah?” Aku menelepon Inez tepat jam
sebelas malam.
“Ivan sayang, tadi aku pulang kerja
bertemu dengan teman SMA-ku. Lalu kami berbincang di Kafe Biru. Kamu tahu kan
kafe itu? Aku sampai lupa waktu dan tak ingat untuk berpamitan padamu. Sekarang
aku ada di halte dekat Kafe Biru. Di sini hujan deras, aku sendirian,
kedinginan, cepat jemput aku.”
“Ya ampun! Kau ini selalu membuatku
khawatir. Kau tunggu di sana, aku akan menjemputmu segera.”
Aku pun segera menarik gas motorku
menuju halte itu. Kafe Biru tidaklah dekat dengan rumah kami. Aku mengendarai
motorku dengan kecepatan maksimal. Perasaanku sudah tak karuan. Pikiranku
kacau. Pikiran negatif berkecamuk dalam otakku. Terbayang tubuh inez yang
menggigil kedinginan. Terbayang sepinya dia karena sendirian di sana. Bagaimana
kalau ada orang jahat dan memperkosa Inez? Bagaimana? Takut sekali akan kehilangan
dirinya.
Motorku
sudah melaju sangat kencang. Jalanan sudah lengang. Tapi mengapa terasa lama
sekali untuk sampai di sana. Tak sabar aku membawa Inez pulang. Kalau terjadi
apa-apa padanya, aku akan mengutuk diriku sendiri.
Satu
jam kemudian aku sampai di halte yang Inez sebutkan tadi.
Tapi Inez tak ada di sana.
Di halte itu tak ada siapa-siapa.
Tak ada apa-apa.
Aku pun berteriak memanggil-manggil
nama Inez. Tapi sama sekali tak ada jawaban. Aku menghubungi ponselnya. Nada
deringnya terdengar olehku. Lalu aku menghampiri sumber suara itu, ternyata
dari gang kecil yang amat dekat dengan halte tadi. Keadaan sangat sepi. Gang
itu gelap sekali. Aku pun memanfaatkan lampu dari ponselku. Aku menelusuri gang
itu dengan berjalan kaki. Lalu aku temukan sehelai rok yang tak asing bagiku.
Rok hitam yang dipakai Inez untuk bekerja hari ini. Aku melangkah lagi ke
depan.
Ku
lihat tubuh indah Inez tergeletak begitu saja. Tanpa sehelai pakaian pun. Tapi
banyak tanda memar di tubuhnya itu. Matanya terpejam. Aku langsung memeluk
tubuh itu dengan erat. Aku membuka jaketku untuk melindungi tubuh itu. Aku
mencoba membangunkan Inez.
Tapi ia tak kunjung tersadar.
“Ineeeeeeez!!!” Aku berteriak
sekencang-kencangnya.
Itulah
kejadian paling pahit dalam hidupku. Sejak kepergian Inez, jiwaku pun ikut
pergi. Aku sangat mencintai Inez jadi sangat berat untuk melepaskannya. Aku
sangat menyesal tak selalu berada di sampingnya. Tak dapat menjaganya sepenuh
waktu. Aku terus menyalahkan diriku sendiri.
Pelaku
yang memperkosa dan membunuh tak pernah kuketahui. Karena aku memang tidak mau
tahu. Jika saja aku tahu, pasti aku akan menyiksa penjahat itu, aku akan
membuatnya menderita sebelum akhirnya kubunuh.
Aku
sudah seperti orang gila sejak kehilangannya. aku bisa hidup tanpanya. Tapi ini
bukan jalan yang aku inginkan. Sepuluh tahun ini aku berusaha hidup tanpa
raganya. Namun aku masih dapat merasakan jiwanya dalam jiwaku, begitu kuat.
Aku
juga masih merasakan cintanya. Hidup dengan menganggap Inez masih ada. Tak
pernah sekalipun aku berpikir untuk mencari penggantinya.
Rasa
cintaku telah habis, untuk Inez seorang.
Berahiku
hanya bangkit karenanya.
0 comment:
Posting Komentar