Karya: Devy Oktavia 21/09/2013
I
|
tu kau. Jarak di antara kita saat ini
hanyalah 1 meter. Hanya beberapa langkah lagi kita akan berada pada titik yang
sama. Apa yang harus aku lakukan saat sejajar denganmu? Haruskah aku menatap
matamu kemudian tersenyum? Haruskah aku
membuang muka? Satu... dua.. tiga langkah kau dari utara dan aku dari selatan.
Akhirnya kita berpapasan. Kau melewatiku seketika. Tanpa kata. Tanpa senyuman.
Tanpa menatapku. Kau bersikap seolah tidak melihatku, padahal aku yakin kau
menyadari keberadaanku. Kita berdua bagaikan dua manusia yang sama sekali tidak
pernah mengenal satu sama lain. Bahkan tidak pernah menganggap ada. Padahal
tadi itu jarak kita begitu dekat. Bahkan helaian baju bagian tangan sebelah
kananmu menyentuh helaian baju bagian tangan sebelah kiriku. Mungkin bagimu aku
hanya angin yang sesaat bersama dengan debu.
Saat kau melewatiku. Ada
sesuatu yang menyengat hatiku, karena aku telah mencintaimu persis dari awal.
Ini bukan sesuatu yang serius. Ini hanya sesuatu yang ku rasakan. Ini hanya
sedikit sakit di hati yang ku rasakan.
Sakit ini membuatku
temenung di sini. Di bawah matahari. Kini kau tidak melihatku lagi. Tidak
melihat wajahku yang gelisah. Termenung mengingat kita. Mengingat kisah kita.
Ya, dulu memang ada kita.
Setahun yang lalu kau
berhasil memikat hatiku. Pertama kali melihatmu, aku langsung terpesona melihat
senyumanmu yang indah itu. Aku berharap kau akan memberi senyuman itu pada ku
suatu saat nanti. Setiap kali ku melihatmu, jantungku berdetak lebih kencang.
Saat itu, aku pikir aku jatuh cinta.
Tak pernah ku sangka kau
memberikan senyuman itu padaku. Kau mendekatiku. Kau benar-benar memikat
hatiku. Setiap ucapan dan perbuatan yang kau lakukan padaku membuat hatiku
meleleh. Hingga akhirnya kau mengungkapkan rasa cinta padaku. Kita pun menjadi
satu.
Hal yang paling membahagiakan di bumi ini adalah saat kau
mencintai seseorang yang lebih mencintai dirimu.
Hal itu terjadi padaku. Itu terbukti dari sikapmu padaku. Padahal sebenarnya
aku belum tahu sepenuhnya arti cinta.
Dulu kau selalu berusaha
membuatku bahagia dengan hal-hal kecil yang dapat kau lakukan. Kau memberikan
apa yang aku inginkan. Kau mengerti apa yang aku suka dan tidak aku suka. Kau
selalu melindungiku. Kau menghangatkanku di saat aku merasa dingin. Kau tidak
pernah marah padaku padahal aku selalu membuatmu kesal. Kau selalu meminta maaf
terlebih dahulu atas semua kesalahan yang aku perbuat. Aku tahu aku egois. Kau
membuatku merasa teristimewa karena ketulusan cintamu.
Aku suka caramu
memandangku. Aku suka caramu meminjamkan bahumu saat aku butuh. Aku suka caramu
mengelus rambutku. Aku suka caramu menyentuh pipiku dan menyubitnya dengan
lembut. Itu semua adalah hal sederhana yang membuatku bahagia walau hanya
sesaat.
Tiba-tiba kau memutuskan
pita cinta kita. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku kau akan melakukan itu.
Saat itu tidak terasa sakit. Aku mencoba ikhlas membiarkanmu pergi, yang awalnya
ku kira itu mudah. Ternyata aku salah mengira.
Sangat sulit untuk
mebiarkan semua kenangan indah yang pernah kita lalui pergi begitu saja.
Apalagi aku masih berharap hal itu untuk terjadi lagi. Aku ingin sekali
melupakan kau. Melupakan semua yang terlah terjadi di antara kita, tapi...
Bagaimana bisa aku
melupakanmu sementara kau selalu menghantui pikiranku?
Bagaimana aku tidak
membutuhkanmu sementara kau lah segala yang aku inginkan?
Saat kau memutuskan
hubungan kita, kau bilang kau akan selalu ada untukku. Kau berjanji akan
menjadi sahabatku, namun kau tidak pernah menepati janjimu. Mungkin sebenarnya
malah aku yang tidak sepakat dengan janji itu. Aku yang menghindar darimu. Aku
tidak sanggup jika harus berbicara denganmu karena itu hanya akan membuatku
mengingat semua kenangan indah yang pernah kita alami bersama. Aku selalu
berusaha menghindar setiap kali bertemu denganmu. Bukannya aku dendam atau
benci padamu. Aku hanya.... aku hanya takut. Takut rasa itu tumbuh kembali.
Hari demi hari pun
berganti sejak kau meninggalkanku. Aku sungguh merindukanmu. Ah tidak...
mungkin aku hanya merindukan masa-masa indah yang kita lalui bersama.
Berbulan-bulan, kita tidak pernah saling
berkomunikasi. Kita sama-sama seperti orang asing sekarang. Semudah itu kah kau
melupakanku? Mungkin kau pikir aku juga telah melupakanmu karena aku tidak
pernah acuh saat bertemu denganmu. Kau salah besar. Aku selalu mengingatmu. Aku
hanya berpura-pura aku sudah melupakanmu agar kau tidak mengira aku masih
menginginkanmu. Ku berusaha menunjukkan senyum di depanmu agar kau kira aku
bisa bahagia tanpamu. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Pada
akhirnya aku hanya dapat menyesali semua kesempatan yang tidak pernah aku
ambil. Kesempatan saat aku seharusnya membalas semua perlakuan indahmu untukku.
Saat itu aku tidak membalas apa-apa. aku tidak memperlakukanmu seperti kau
memperlakukanku. Bahkan, aku tidak pernah bertanya apakah kau bahagia
bersamaku, yang kupikirkan hanyalah diriku sendiri.
Aku tahu kini sudah tidak
ada gunanya untuk menyesal. Aku terlambat menyadari semua ini. Aku ingin sekali
minta maaf padamu. Jika saja aku tidak memiliki ego yang besar dan rasa gengsi,
mungkin aku akan meminta maaf padamu dan menjelaskan semua kesalahan yang aku
perbuat.
Kini, semua tempat yang pernah
kita injaki bersama, semua itu masih sama, tidak ada yang berubah. Hanya kita
yang berubah. Perasaan ini yang berubah. Bukankah wajar bila di setiap
pertemuan pasti ada perpisahan? Sekarang aku hanya dapat menerima kenyataan
itu.
Kini aku berusaha sekeras
mungkin untuk menghapus kau dari ingatanku. Berpura-pura seolah tidak pernah
ada ‘kita’